Monday, July 1, 2013

Tea and Juice

            Masih dengan hari-hari yang sama. Pekerjaan yang sama. Kehidupan yang monoton. Aku sendiri tak mengerti ternyata bisa bertahan dengan kehidupan seperti ini. Mungkin karena terlalu cukup bagiku. Namaku Nino Setiawan. Panggil saja aku Nino. Aku mempunyai keluarga yang utuh. Ayah, ibu dan dua orang adik yang duduk di bangku sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Aku juga tidak sulit untuk mencari teman. Pendidikanku memadai. Aku terdaftar sebagai mahasiswa fakultas perhotelan di salah satu universitas. Lalu ditambah bekerja paruh waktu di sebuah kedai teh karena aku mengambil kelas sore untuk jadwal kuliahku. Bukan karena orang tuaku tak mampu membiayai kuliahku tapi karena aku tak cukup dengan menuntut ilmu kemudian duduk manis di rumah mengerjakan tugas-tugas layaknya anak kuliahan lainnya. Aku ingin mengasah lebih kemampuanku. Lagipula pekerjaanku ini tak jauh dari tema fakultasku bukan?
            Hingga akhirnya aku bertemu dengan seorang gadis bernama Tara. Hidupku mendapat sedikit percikan warna lain. Dia pelangganku di kedai teh yang cukup cantik. Tapi gayanya bisa dibilang kekanak-kanakan untuk ukuran anak kuliahan. Selalu saja kutemukan dia memakai gaun pendek berenda, berwarna cerah. Terlihat manis memang. Apalagi saat dia mengeluh karena pria pujaannya tak kunjung datang. Ya, alasan satu-satunya dia datang ke kedai teh karena dia memuja Arsya, salah satu pelayan di kedai teh ini.
            “Udah kubilang kan Arsya shift sore.” Jelasku padanya tiap kali dia mengeluh.
            “Bodo!” katanya masih dengan nada yang sama. Jutek.
            “Kenapa nggak datang malem aja sih?”
            “Aku ada les tiap malem.”
            “Kayak anak sd aja pakai les segala.”
            “Bawel ah suka-suka aku dong!”
            Karena tiap kali aku yang menyeduh teh untuknya, lama-lama kami jadi banyak ngobrol. Gaya khasnya yang jutek, aku suka. Tapi selalu bersikap manis ketika menatap Arsya walau dari kejauhan. Dasar cewek! Yah, tau sendiri kan gadis ini cuma pemuja. Tak pernah sekalipun melambaikan tangan untuk sekedar mengucap kata “hai” kepada Arsya. Dia terlalu payah dalam urusan PDKT.
            Lagi aku berjalan menuju mejanya. Dengan seragam putih berhias dasi berbentuk pita lalu disandingkan dengan celana hitam, tanganku lihai membawa secangkir minuman. Tapi kali ini aku tak menyeduh teh untuknya. Aku sengaja membuatkan secangkir jus mangga.
            “Apa ini?” tanyanya bingung tak melihat teh yang biasa dia pesan.
            “Anak kecil aja tau kalau ini jus mangga.” Jawabku sekenanya.
            “Nggak ada dalam menu kan?”
            “Aku kasian tehnya.”
            “Loh kenapa?”
            “Hey, kamu selalu nyisain teh dalam cangkirmu. Kalau nggak suka teh kenapa masih dipaksain?”
            “Ih... bukan urusanmu...”
            “Kalau nggak mau ya udah aku buang aja.” Tanganku cepat-cepat mengambil cangkir yang ada di atas meja.
            “Eh jangan...”
Tara merebut cangkir itu. Aku tersenyum geli. Lalu tanpa ragu gadis manis ini meneguknya perlahan. Setengah gelas telah masuk dalam perutnya. Dia meluangkan waktu memandangku. Bukannya aku geer tapi dia benar-benar memandangku dengan senyuman yang baru kali ini kulihat. Manis banget.
“Makasih ya...”
“Bayar dua kali lipat tuh.”
“Masih aja nyebelin.”
“Hahaha...” Tawaku langsung meledak.
Sejak saat itu, aku menyajikan jus mangga untuknya. Masih dengan harga yang sama agar tak ketahuan dengan pemilik kedai. Aku juga meminta teman-teman sesama pelayan untuk memakluminya. Jari telunjukku tak henti menempel di bibir tiap kali mengantar jus itu ke meja Tara. Teman-temanku menyambutnya dengan tertawa geli. Aku ini memang konyol.
“Kalau ketahuan sama bosmu gimana?” tanya Tara tiba-tiba.
“Hmmm... paling cuma dipecat.”
“Cuma? Jangan bercanda!”
So what?” seruku cuek.
“Eh tapi kayaknya kamu lebih cocok buat jus mangga deh... Gila enak banget!”
“Itu sih maunya kamu.” Cibirku.
“Beneran!” katanya kesal.
Ternyata ada yang lebih membuat hidupku lebih berwarna daripada mengenal Tara. Aku dipecat! Apalagi kalau bukan karena persoalan yang keluar dari menu. Rahasiaku tak selamanya jadi rahasia. Beberapa minggu setelah itu, bos memergokiku membuat jus mangga. Padahal bos tak pernah ke kedai kalau bukan akhir bulan.Dengan bodohnya aku mengaku. Aku menceritakan semuanya pada bos. Mungkin aku dilahirkan sebagai anak yang jujur. Antara rasa menyesal dan yah.. entahlah. Aku bingung harus mengucapkan kata apa di depan bos untuk membela diri. Aku pasrah didepak dari bangunan itu.
Ada rindu dalam kedai teh itu. Banyak kenangan yang kuukir disana. Memang cuma setahun aku berkerja disana tapi Tara menambah berjuta dari deretan kenangan itu. Tanpa sadar aku ikut merindukan gadis manis itu. Bukan, dia bukan gadis manis. Dia gadis jutek. Dia cuma tersenyum padaku satu kali. Arghhh... Kenapa sekarang aku membahas Tara? Sudah dua hari aku tergeletak di rumah tiap pagi sampai sore. Sesekali ku acak-acak kertas koran mencari baris lowongan kerja. Hasilnya masih nihil. Aku masih menganggur.
Bel pintu berbunyi. Aku bangkit dari tempat tidurku. Kupercepat laju langkahku ketika suara bel semakin cepat berbunyi. Ku tarik daun pintu dengan tergesa-gesa. Kepalaku menyembul keluar. Mataku beradu dengan gadis manis berbalut gaun berenda. Itu Tara. Dia yang berkunjung di rumahku.
“Hey, ngapain disini?” tanyaku kaget.
“Aku kan? Gara-gara aku, kamu dipecat.” Pertanyaannya langsung menyerang telingaku. Matanya memerah.
“Nggak juga kok!” kataku menenangkannya.
“Aku dengar kok dari Arsya.”
“Hebat! Udah berani ngobrol sama Arsya. Kemajuan dong!”
“Apanya yang hebat! Aku pengennya ngobrol sama kamu.”
“Udah nggak naksir sama Arsya?” tanyaku polos. Dahiku berkerut tak mengerti.
“Aku tuh mulai suka sama kamu!” katanya masih dengan nada jutek.
Tentu saja aku kaget mendengar ucapan Tara. Jarang-jarang ada gadis yang tanpa malu mengutarakan perasaannya. Dari awal bertemu dia memang bukan gadis yang suka jaga imej. Dia memang lebih suka blak-blakan sambil pasang muka jutek.
Repeat dong!” seruku menyembunyikan rasa kaget.
“Apanya?”
“Harusnya aku yang bilang aku mulai suka sama kamu. Kan nggak seru kalau cewek duluan yang bilang.”

Tara memukul pundakku kesal. Aku malah tertawa senang. Tak ada ruginya juga dipecat. Hidup itu adil kan? Kalau memang saat ini aku harus bersedih karena dipecat tapi aku mempunyai kebahagiaan yang menghapuskan kesedihan itu. Kebahagiaan karena peri cupid menancapkan panah kecilnya kepada kami lewat kedai teh. Dan kurasa mulai saat ini tak ada kamus monoton lagi dalam hidupku.

0 comments:

Post a Comment

 
;