Masih dengan
hari-hari yang sama. Pekerjaan yang sama. Kehidupan yang monoton. Aku sendiri
tak mengerti ternyata bisa bertahan dengan kehidupan seperti ini. Mungkin
karena terlalu cukup bagiku. Namaku Nino Setiawan. Panggil saja aku Nino. Aku
mempunyai keluarga yang utuh. Ayah, ibu dan dua orang adik yang duduk di bangku
sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Aku juga tidak sulit untuk mencari
teman. Pendidikanku memadai. Aku terdaftar sebagai mahasiswa fakultas
perhotelan di salah satu universitas. Lalu ditambah bekerja paruh waktu di
sebuah kedai teh karena aku mengambil kelas sore untuk jadwal kuliahku. Bukan
karena orang tuaku tak mampu membiayai kuliahku tapi karena aku tak cukup
dengan menuntut ilmu kemudian duduk manis di rumah mengerjakan tugas-tugas
layaknya anak kuliahan lainnya. Aku ingin mengasah lebih kemampuanku. Lagipula
pekerjaanku ini tak jauh dari tema fakultasku bukan?
Hingga akhirnya aku bertemu dengan
seorang gadis bernama Tara. Hidupku mendapat sedikit percikan warna lain. Dia
pelangganku di kedai teh yang cukup cantik. Tapi gayanya bisa dibilang
kekanak-kanakan untuk ukuran anak kuliahan. Selalu saja kutemukan dia memakai
gaun pendek berenda, berwarna cerah. Terlihat manis memang. Apalagi saat dia
mengeluh karena pria pujaannya tak kunjung datang. Ya, alasan satu-satunya dia
datang ke kedai teh karena dia memuja Arsya, salah satu pelayan di kedai teh
ini.
“Udah kubilang kan Arsya shift
sore.” Jelasku padanya tiap kali dia mengeluh.
“Bodo!” katanya masih dengan nada
yang sama. Jutek.
“Kenapa nggak datang malem aja sih?”
“Aku ada les tiap malem.”
“Kayak anak sd aja pakai les
segala.”
“Bawel ah suka-suka aku dong!”
Karena tiap kali aku yang menyeduh
teh untuknya, lama-lama kami jadi banyak ngobrol. Gaya khasnya yang jutek, aku
suka. Tapi selalu bersikap manis ketika menatap Arsya walau dari kejauhan.
Dasar cewek! Yah, tau sendiri kan gadis ini cuma pemuja. Tak pernah sekalipun
melambaikan tangan untuk sekedar mengucap kata “hai” kepada Arsya. Dia terlalu
payah dalam urusan PDKT.
Lagi aku berjalan menuju mejanya.
Dengan seragam putih berhias dasi berbentuk pita lalu disandingkan dengan
celana hitam, tanganku lihai membawa secangkir minuman. Tapi kali ini aku tak
menyeduh teh untuknya. Aku sengaja membuatkan secangkir jus mangga.
“Apa ini?” tanyanya bingung tak
melihat teh yang biasa dia pesan.
“Anak kecil aja tau kalau ini jus
mangga.” Jawabku sekenanya.
“Nggak ada dalam menu kan?”
“Aku kasian tehnya.”
“Loh kenapa?”
“Hey, kamu selalu nyisain teh dalam
cangkirmu. Kalau nggak suka teh kenapa masih dipaksain?”
“Ih... bukan urusanmu...”
“Kalau nggak mau ya udah aku buang
aja.” Tanganku cepat-cepat mengambil cangkir yang ada di atas meja.
“Eh jangan...”
Tara
merebut cangkir itu. Aku tersenyum geli. Lalu tanpa ragu gadis manis ini
meneguknya perlahan. Setengah gelas telah masuk dalam perutnya. Dia meluangkan
waktu memandangku. Bukannya aku geer tapi dia benar-benar memandangku dengan
senyuman yang baru kali ini kulihat. Manis banget.
“Makasih
ya...”
“Bayar
dua kali lipat tuh.”
“Masih
aja nyebelin.”
“Hahaha...”
Tawaku langsung meledak.
Sejak
saat itu, aku menyajikan jus mangga untuknya. Masih dengan harga yang sama agar
tak ketahuan dengan pemilik kedai. Aku juga meminta teman-teman sesama pelayan
untuk memakluminya. Jari telunjukku tak henti menempel di bibir tiap kali
mengantar jus itu ke meja Tara. Teman-temanku menyambutnya dengan tertawa geli.
Aku ini memang konyol.
“Kalau
ketahuan sama bosmu gimana?” tanya Tara tiba-tiba.
“Hmmm...
paling cuma dipecat.”
“Cuma?
Jangan bercanda!”
“So
what?” seruku cuek.
“Eh
tapi kayaknya kamu lebih cocok buat jus mangga deh... Gila enak banget!”
“Itu
sih maunya kamu.” Cibirku.
“Beneran!”
katanya kesal.
Ternyata
ada yang lebih membuat hidupku lebih berwarna daripada mengenal Tara. Aku
dipecat! Apalagi kalau bukan karena persoalan yang keluar dari menu. Rahasiaku
tak selamanya jadi rahasia. Beberapa minggu setelah itu, bos memergokiku membuat
jus mangga. Padahal bos tak pernah ke kedai kalau bukan akhir bulan.Dengan
bodohnya aku mengaku. Aku menceritakan semuanya pada bos. Mungkin aku
dilahirkan sebagai anak yang jujur. Antara rasa menyesal dan yah.. entahlah.
Aku bingung harus mengucapkan kata apa di depan bos untuk membela diri. Aku pasrah
didepak dari bangunan itu.
Ada
rindu dalam kedai teh itu. Banyak kenangan yang kuukir disana. Memang cuma
setahun aku berkerja disana tapi Tara menambah berjuta dari deretan kenangan
itu. Tanpa sadar aku ikut merindukan gadis manis itu. Bukan, dia bukan gadis
manis. Dia gadis jutek. Dia cuma tersenyum padaku satu kali. Arghhh... Kenapa
sekarang aku membahas Tara? Sudah dua hari aku tergeletak di rumah tiap pagi
sampai sore. Sesekali ku acak-acak kertas koran mencari baris lowongan kerja.
Hasilnya masih nihil. Aku masih menganggur.
Bel
pintu berbunyi. Aku bangkit dari tempat tidurku. Kupercepat laju langkahku
ketika suara bel semakin cepat berbunyi. Ku tarik daun pintu dengan
tergesa-gesa. Kepalaku menyembul keluar. Mataku beradu dengan gadis manis
berbalut gaun berenda. Itu Tara. Dia yang berkunjung di rumahku.
“Hey,
ngapain disini?” tanyaku kaget.
“Aku
kan? Gara-gara aku, kamu dipecat.” Pertanyaannya langsung menyerang telingaku.
Matanya memerah.
“Nggak
juga kok!” kataku menenangkannya.
“Aku
dengar kok dari Arsya.”
“Hebat!
Udah berani ngobrol sama Arsya. Kemajuan dong!”
“Apanya
yang hebat! Aku pengennya ngobrol sama kamu.”
“Udah
nggak naksir sama Arsya?” tanyaku polos. Dahiku berkerut tak mengerti.
“Aku
tuh mulai suka sama kamu!” katanya masih dengan nada jutek.
Tentu
saja aku kaget mendengar ucapan Tara. Jarang-jarang ada gadis yang tanpa malu
mengutarakan perasaannya. Dari awal bertemu dia memang bukan gadis yang suka
jaga imej. Dia memang lebih suka blak-blakan sambil pasang muka jutek.
“Repeat
dong!” seruku menyembunyikan rasa kaget.
“Apanya?”
“Harusnya
aku yang bilang aku mulai suka sama kamu. Kan nggak seru kalau cewek duluan
yang bilang.”
Tara
memukul pundakku kesal. Aku malah tertawa senang. Tak ada ruginya juga dipecat.
Hidup itu adil kan? Kalau memang saat ini aku harus bersedih karena dipecat
tapi aku mempunyai kebahagiaan yang menghapuskan kesedihan itu. Kebahagiaan
karena peri cupid menancapkan panah kecilnya kepada kami lewat kedai teh. Dan
kurasa mulai saat ini tak ada kamus monoton lagi dalam hidupku.
0 comments:
Post a Comment