“Gila...!!! lo habis berapa pulsa,
Jean?” seoloroh Zaky begitu melihat outbox-ku yang penuh.
“Cuma lima
puluh pesan kaliii... nggak usah lebay gitu deh!” jelasku sambil mendengus
kesal.
Aku
menyambar ponselku yang digenggam Zaky. Kutekuk mukaku begitu ingat kelakuan
bodohku yang saking paniknya melihat Alvin mengamuk. Seminggu ini aku sibuk
mencari cara untuk mendapatkan maaf dari Alvin. Dari berkunjung ke rumahnya,
tapi dia selalu menolak bertemu denganku. Lalu menyapanya di sekolah, aku cuma
dapat tatapan sinis. Menelepon pun tak pernah di angkatnya. Apalagi waktu ku
SMS ke nomor ponselnya, hingga saat ini tak ada balasan SMS darinya. Maklumlah
dia adalah sahabatku sejak kecil. Aku tumbuh bersama Alvin dan Zaky. Sekitar
sepuluh tahun kami sudah bertetangga. Rasanya ada yang hilang jika tak ada dia.
Tapi kenapa dia tak mau mengerti alasanku sih? Aku jadi kesal.
“Nona manis
jangan ditekuk gitu dong mukanya! Jelek tau!” Cibir Zaky membuatku tambah
kesal.
“Hey, tuan
tampan, adikmu itu bener-bener kejam deh! Aku nggak diberi waktu buat jelasin
semuanya.”
Zaky
mengangkat bahunya lalu tangannya bergerak ke atas ketika pelayan kantin
berteriak bahwa pesanan kami sudah siap. Si pelayan kantin langsung menghampiri
meja kami. Diletakkannya dua mangkuk mi ayam dan dua gelas jus jeruk. Lidahku
langsung meleleh melihatnya. Rasa kesalku ikut mencair seperti jus jeruk ini.
Tanpa ba-bi-bu aku menyantap makanan yang sudah tersaji.
“Stop dulu
aja. Luka itu bakal sembuh oleh waktu. Kalau nanti sudah reda situasinya, baru
kamu minta maaf sama Alvin.”
Aku
menghentikan laju makanku. Kemudian menatap Zaky dengan serius. Sedangkan yang
kutatap malah berbalik menyantap mi ayamnya. Ok, aku tak peduli jika tatapan
kami tak bertemu saat berbicara.
“Mana bisa
tenang kalau belum dapat maaf. Mending lo nasehatin adek lo kalau cinta itu
nggak bisa dipaksa.”
Zaky
mendongak dengan mie yang masih tertempel bibirnya. Lalu dia selesaikan
sisa-sisa mie-nya masuk dalam mulutnya. Sekarang gantian aku yang melanjutkan
menikmati santapanku.
“Masa lo nggak tau kalau Alvin cemburu sama kita berdua?” tanyanya polos.
“Masa lo nggak tau kalau Alvin cemburu sama kita berdua?” tanyanya polos.
Mie ayam
dalam tenggorokanku rasanya mau keluar setelah mendengar ucapan Zaky. Aku tak
menyangka kalau Alvin sampai berpikir seperti itu. Batuk langsung menyerang
tenggorokanku. Zaky dengan cepat mengambil tissu dan mengusapkannya ke bibirku.
Tapi kutolak uluran tangannya yang hampir menyentuh bibirku. Aku lebih memilih
meneguk jus jerukku.
“Yang gue
butuhin minuman bukan tissu!” teriakku dongkol.
“Lo diajak
romantis gk seru.”
“Lo aja yang
bego!”
“Gue bingung
sama selera Alvin.”
“Maksud lo?”
“Gue sih
nggak bakal naksir sama cewek urakan kayak lo. Amit-amit tujuh turunan deh!”
Spontan aku
langsung menjitak cowok rese ini. Dia berteriak kesakitan. Aku cekikikan puas
melihatnya mengusap-usap jidatnya. Dia balas dengan mengumpatku kesal. Aku
makin geli melihatnya. Tapi beberapa menit kemudian, kerutan di dahi Zaky
akibat kesal padaku mengendur begitu pandangannya beralih. Dia menatap Alvin
yang berdiri di ambang pintu kantin. Aku saja baru menyadarinya kalau Alvin
ternyata memperhatikan kami daritadi. Aku menelan ludah berat. Ini sih bakal
jadi salah paham yang lebih membuatnya marah.
“Good luck
ya..” Zaky berbisik padaku sambil nyengir kuda.
Aku kesal
tapi perhatianku lebih tertarik pada sosok Alvin. Ketika pandanganku beradu
dengannya, dia langsung ngeloyor pergi. Aku bangkit dari tempat dudukku dan
mengejarnya. Hampir saja aku melompati tembok kantin yang tingginya hanya
sekitar satu meter. Kalau saja aku tak memakai rok abu-abuku ini, mungkin aku
sudah khilaf jadi tom raider. Aku
coba memanggil namanya tapi dia tak menoleh. Langkah kakinya malah semakin
cepat berlari. Kupacu lagi kecepatan kakiku. Akhirnya di lorong tempat parkir
aku berhasil menangkap tangannya.
“Vin,
dengerin dulu.” Rengekku begitu dia menghentikan langkahnya. Dia menoleh
padaku. Tatapannya lagi-lagi sinis. Aku tak tahan melihatnya.
“Apa?”
sambutnya ketus.
“Sumpah, gue
nggak ada apa-apa sama Zaky.” Jari telunjukku dan jari tengahku langsung
menyembul di sela genggaman telapak tanganku.
“Udah deh.
Gue nggak mau liat lo lagi.”
Alvin
menghempaskan tangannya dari genggamanku dan meninggalkanku pergi. Aku ingin
memanggilnya tapi di sela keinginanku untuk mengejar maaf, aku teringat
kata-kata Zaky. Luka akan sembuh oleh waktu. Mungkinkah itu? kucoba mematuhi
kata-kata itu sambil terus berdoa persahabatanku dengan Alvin bisa kembali
lagi. Aku putuskan untuk menunggu Alvin. Aku selalu berdoa Alvin akan menyerah
mempertahankan amarahnya.
Dua bulan
berlalu, formasi persahabatanku masih terpaku pada Zaky. Ya, Alvin masih marah
padaku. Berkali-kali Zaky menggodaku agar aku menerima cinta Alvin, tapi aku
mantap menggelengkan kepalaku. Bukan karena aku populer di sekolah dan bisa
memilih cowok yang lebih sempurna dari Alvin, atau mungkin seperti yang
digosipkan di sekolah kalau aku tak tertarik pada cowok. Semua itu tak benar.
Aku hanya memandang Alvin sebagai sahabatku. Tidak pernah lebih dari itu.
Sepulang
sekolah seperti biasanya, aku menarik tangan Zaky untuk pulang bareng sebelum
keduluan dengan Winda, gebetan Zaky baru-baru ini. Aku tak mau kalau dia merayu
Zaky agar diantarkan pulang sedangkan aku melongo pulang sendirian menunggu
angkutan umum. Lumayan-lah walau Zaky bukan anak konglomerat tapi dia sudah
diberi kepercayaan untuk mengendarai motor. Biasanya sih aku pulang bareng
Alvin. Dia juga menggandeng motor untuk pulang sekolah. Dan jelas sekali
sekarang aku tak bisa merengek kepada Alvin.
“Jean!”
Tiba-tiba ada yang memanggilku. Aku kenal suara ini. Bahkan sangat mengenalnya.
Secepat kilat aku menoleh ke sumber suara itu.
“Alvin!”
teriakku kompakan dengan Zaky.
“Hey, Kak!”
Sapanya kepada Zaky ketika dia sudah tepat di hadapanku.
“Boleh
pinjam Jeany?” tanyanya sambil memberi kode pada kakaknya lewat tatapannya.
“Nggak
perlulah, Vin. Gue tau yang bakal lo bicarain dan gue juga terlibat.”
Alvin
terdiam. Aku dan Zaky ikut membisu. Alvin menggaruk kepalanya tampak bingung.
Aku dan Zaky kompakan mengerutkan dahi ikut bingung.
“Gue minta
maaf kalau sikap gue kekanak-kanakan banget beberapa hari ini.”
“Tuh kan gue
bilang apa, tinggal tunggu waktunya aja.” Zaky berbisik kepadaku. Aku melotot
dongkol kepadanya.
“Jadi kita
sahabatan lagi?” Aku mengulurkan tanganku lalu Alvin menyambutnya dengan
menggenggam tanganku. Kami bersalaman. “Makasih, Vin.”
“You are
welcome.” Katanya tersenyum tipis.
Sahabatku
kembali lagi. Formasi persahabatan kami telah utuh. Aku, Alvin dan Zaky.
Benar-benar sempurna. Aku tersenyum gembira. Zaky pun ikut senang melihatku
tersenyum lega. Dia mengusap kepalaku. Lembut. Kami bertiga berjalan bersama
menuju tempat parkir. Yah, kali ini aku bisa membonceng Alvin lagi dan tak
perlu khawatir naik angkot lagi.
“Ngomong-ngomong
kalian kenal Winda nggak?” Alvin membuka pembicaraan.
Aku dan Zaky
menoleh kompak ke arah Alvin. Rasanya aku mencium bau yang tak enak lewat
pembukaan percakapan ini.
“Kenapa?”
Alvin kelihatan bingung.
“Emang ada
masalah apa sama Winda?” tanya Zaky penasaran.
“Dia temen
les gue. Gue baru tau kalau Winda juga sekolah di sini.”
“Terus?”
tanya Zaky makin penasaran.
“Cantik ya
anaknya. Pertama kali ketemu di tempat les rasanya gue naksir sama tuh cewek.
Udah sebulan ini gue cari tau tentang dia. Kali aja kalian juga tau.”
Ouh!!! Jadi
dia minta maaf sama aku karena ada gebetan baru? Bukan seperti yang dibilang
Zaky kalau luka bakal sembuh oleh waktu? Ternyata aku harus meralat teori itu.
Sudah jelas yang lebih tepat, luka bakal sembuh oleh GEBETAN BARU. Ok, itu
semua bukan masalah bagiku. Apapun alasan Alvin memaafkanku, aku sudah lega
persahabatan kami kembali. Yang jadi masalahku sekarang adalah Zaky. Aku
mengintip ke arahnya. Kurasakan aura api cemburu di sekujur tubuhnya. Aku
bergidik ngeri. Alvin yang tak menyadari itu dengan santai menceritakannya
kisah cintanya. Firasatku langsung muncul. Sebentar lagi akan ada perang saudara.
Aku langsung geli membayangkannya. Kudekatkan tubuhku menempel ke arah Zaky.
“Zaky, good
luck ya.” Bisikku sambil nyengir kuda.