Sunday, June 30, 2013 0 comments

Antara Aku, Kamu dan Kakakmu

“Gila...!!! lo habis berapa pulsa, Jean?” seoloroh Zaky begitu melihat outbox-ku yang penuh.
            “Cuma lima puluh pesan kaliii... nggak usah lebay gitu deh!” jelasku sambil mendengus kesal.
            Aku menyambar ponselku yang digenggam Zaky. Kutekuk mukaku begitu ingat kelakuan bodohku yang saking paniknya melihat Alvin mengamuk. Seminggu ini aku sibuk mencari cara untuk mendapatkan maaf dari Alvin. Dari berkunjung ke rumahnya, tapi dia selalu menolak bertemu denganku. Lalu menyapanya di sekolah, aku cuma dapat tatapan sinis. Menelepon pun tak pernah di angkatnya. Apalagi waktu ku SMS ke nomor ponselnya, hingga saat ini tak ada balasan SMS darinya. Maklumlah dia adalah sahabatku sejak kecil. Aku tumbuh bersama Alvin dan Zaky. Sekitar sepuluh tahun kami sudah bertetangga. Rasanya ada yang hilang jika tak ada dia. Tapi kenapa dia tak mau mengerti alasanku sih? Aku jadi kesal.
            “Nona manis jangan ditekuk gitu dong mukanya! Jelek tau!” Cibir Zaky membuatku tambah kesal.
            “Hey, tuan tampan, adikmu itu bener-bener kejam deh! Aku nggak diberi waktu buat jelasin semuanya.”
            Zaky mengangkat bahunya lalu tangannya bergerak ke atas ketika pelayan kantin berteriak bahwa pesanan kami sudah siap. Si pelayan kantin langsung menghampiri meja kami. Diletakkannya dua mangkuk mi ayam dan dua gelas jus jeruk. Lidahku langsung meleleh melihatnya. Rasa kesalku ikut mencair seperti jus jeruk ini. Tanpa ba-bi-bu aku menyantap makanan yang sudah tersaji.
            “Stop dulu aja. Luka itu bakal sembuh oleh waktu. Kalau nanti sudah reda situasinya, baru kamu minta maaf sama Alvin.”
            Aku menghentikan laju makanku. Kemudian menatap Zaky dengan serius. Sedangkan yang kutatap malah berbalik menyantap mi ayamnya. Ok, aku tak peduli jika tatapan kami tak bertemu saat berbicara.
            “Mana bisa tenang kalau belum dapat maaf. Mending lo nasehatin adek lo kalau cinta itu nggak bisa dipaksa.”
            Zaky mendongak dengan mie yang masih tertempel bibirnya. Lalu dia selesaikan sisa-sisa mie-nya masuk dalam mulutnya. Sekarang gantian aku yang melanjutkan menikmati santapanku.
            “Masa lo nggak tau kalau Alvin cemburu sama kita berdua?” tanyanya polos.
            Mie ayam dalam tenggorokanku rasanya mau keluar setelah mendengar ucapan Zaky. Aku tak menyangka kalau Alvin sampai berpikir seperti itu. Batuk langsung menyerang tenggorokanku. Zaky dengan cepat mengambil tissu dan mengusapkannya ke bibirku. Tapi kutolak uluran tangannya yang hampir menyentuh bibirku. Aku lebih memilih meneguk jus jerukku.
            “Yang gue butuhin minuman bukan tissu!” teriakku dongkol.
            “Lo diajak romantis gk seru.”
            “Lo aja yang bego!”
            “Gue bingung sama selera Alvin.”
            “Maksud lo?”
            “Gue sih nggak bakal naksir sama cewek urakan kayak lo. Amit-amit tujuh turunan deh!”
            Spontan aku langsung menjitak cowok rese ini. Dia berteriak kesakitan. Aku cekikikan puas melihatnya mengusap-usap jidatnya. Dia balas dengan mengumpatku kesal. Aku makin geli melihatnya. Tapi beberapa menit kemudian, kerutan di dahi Zaky akibat kesal padaku mengendur begitu pandangannya beralih. Dia menatap Alvin yang berdiri di ambang pintu kantin. Aku saja baru menyadarinya kalau Alvin ternyata memperhatikan kami daritadi. Aku menelan ludah berat. Ini sih bakal jadi salah paham yang lebih membuatnya marah.        
            “Good luck ya..” Zaky berbisik padaku sambil nyengir kuda.
            Aku kesal tapi perhatianku lebih tertarik pada sosok Alvin. Ketika pandanganku beradu dengannya, dia langsung ngeloyor pergi. Aku bangkit dari tempat dudukku dan mengejarnya. Hampir saja aku melompati tembok kantin yang tingginya hanya sekitar satu meter. Kalau saja aku tak memakai rok abu-abuku ini, mungkin aku sudah khilaf jadi tom raider.  Aku coba memanggil namanya tapi dia tak menoleh. Langkah kakinya malah semakin cepat berlari. Kupacu lagi kecepatan kakiku. Akhirnya di lorong tempat parkir aku berhasil menangkap tangannya.
            “Vin, dengerin dulu.” Rengekku begitu dia menghentikan langkahnya. Dia menoleh padaku. Tatapannya lagi-lagi sinis. Aku tak tahan melihatnya.
            “Apa?” sambutnya ketus.
            “Sumpah, gue nggak ada apa-apa sama Zaky.” Jari telunjukku dan jari tengahku langsung menyembul di sela genggaman telapak tanganku.
            “Udah deh. Gue nggak mau liat lo lagi.”
            Alvin menghempaskan tangannya dari genggamanku dan meninggalkanku pergi. Aku ingin memanggilnya tapi di sela keinginanku untuk mengejar maaf, aku teringat kata-kata Zaky. Luka akan sembuh oleh waktu. Mungkinkah itu? kucoba mematuhi kata-kata itu sambil terus berdoa persahabatanku dengan Alvin bisa kembali lagi. Aku putuskan untuk menunggu Alvin. Aku selalu berdoa Alvin akan menyerah mempertahankan amarahnya.
            Dua bulan berlalu, formasi persahabatanku masih terpaku pada Zaky. Ya, Alvin masih marah padaku. Berkali-kali Zaky menggodaku agar aku menerima cinta Alvin, tapi aku mantap menggelengkan kepalaku. Bukan karena aku populer di sekolah dan bisa memilih cowok yang lebih sempurna dari Alvin, atau mungkin seperti yang digosipkan di sekolah kalau aku tak tertarik pada cowok. Semua itu tak benar. Aku hanya memandang Alvin sebagai sahabatku. Tidak pernah lebih dari itu.
            Sepulang sekolah seperti biasanya, aku menarik tangan Zaky untuk pulang bareng sebelum keduluan dengan Winda, gebetan Zaky baru-baru ini. Aku tak mau kalau dia merayu Zaky agar diantarkan pulang sedangkan aku melongo pulang sendirian menunggu angkutan umum. Lumayan-lah walau Zaky bukan anak konglomerat tapi dia sudah diberi kepercayaan untuk mengendarai motor. Biasanya sih aku pulang bareng Alvin. Dia juga menggandeng motor untuk pulang sekolah. Dan jelas sekali sekarang aku tak bisa merengek kepada Alvin.
            “Jean!” Tiba-tiba ada yang memanggilku. Aku kenal suara ini. Bahkan sangat mengenalnya. Secepat kilat aku menoleh ke sumber suara itu.
            “Alvin!” teriakku kompakan dengan Zaky.
            “Hey, Kak!” Sapanya kepada Zaky ketika dia sudah tepat di hadapanku.
            “Boleh pinjam Jeany?” tanyanya sambil memberi kode pada kakaknya lewat tatapannya.
            “Nggak perlulah, Vin. Gue tau yang bakal lo bicarain dan gue juga terlibat.”
            Alvin terdiam. Aku dan Zaky ikut membisu. Alvin menggaruk kepalanya tampak bingung. Aku dan Zaky kompakan mengerutkan dahi ikut bingung.
            “Gue minta maaf kalau sikap gue kekanak-kanakan banget beberapa hari ini.”    
            “Tuh kan gue bilang apa, tinggal tunggu waktunya aja.” Zaky berbisik kepadaku. Aku melotot dongkol kepadanya.
            “Jadi kita sahabatan lagi?” Aku mengulurkan tanganku lalu Alvin menyambutnya dengan menggenggam tanganku. Kami bersalaman. “Makasih, Vin.”
            “You are welcome.” Katanya tersenyum tipis.
            Sahabatku kembali lagi. Formasi persahabatan kami telah utuh. Aku, Alvin dan Zaky. Benar-benar sempurna. Aku tersenyum gembira. Zaky pun ikut senang melihatku tersenyum lega. Dia mengusap kepalaku. Lembut. Kami bertiga berjalan bersama menuju tempat parkir. Yah, kali ini aku bisa membonceng Alvin lagi dan tak perlu khawatir naik angkot lagi.
            “Ngomong-ngomong kalian kenal Winda nggak?” Alvin membuka pembicaraan.
            Aku dan Zaky menoleh kompak ke arah Alvin. Rasanya aku mencium bau yang tak enak lewat pembukaan percakapan ini.
            “Kenapa?” Alvin kelihatan bingung.
            “Emang ada masalah apa sama Winda?” tanya Zaky penasaran.
            “Dia temen les gue. Gue baru tau kalau Winda juga sekolah di sini.”
            “Terus?” tanya Zaky makin penasaran.
            “Cantik ya anaknya. Pertama kali ketemu di tempat les rasanya gue naksir sama tuh cewek. Udah sebulan ini gue cari tau tentang dia. Kali aja kalian juga tau.”
            Ouh!!! Jadi dia minta maaf sama aku karena ada gebetan baru? Bukan seperti yang dibilang Zaky kalau luka bakal sembuh oleh waktu? Ternyata aku harus meralat teori itu. Sudah jelas yang lebih tepat, luka bakal sembuh oleh GEBETAN BARU. Ok, itu semua bukan masalah bagiku. Apapun alasan Alvin memaafkanku, aku sudah lega persahabatan kami kembali. Yang jadi masalahku sekarang adalah Zaky. Aku mengintip ke arahnya. Kurasakan aura api cemburu di sekujur tubuhnya. Aku bergidik ngeri. Alvin yang tak menyadari itu dengan santai menceritakannya kisah cintanya. Firasatku langsung muncul. Sebentar lagi akan ada perang saudara. Aku langsung geli membayangkannya. Kudekatkan tubuhku menempel ke arah Zaky.
            “Zaky, good luck ya.” Bisikku sambil nyengir kuda.

            
Thursday, June 27, 2013 0 comments

KARMA part two

Jari lentik Riva bermain dengan lincah di atas keyboard laptopnya. Aku penasaran dengan yang dilakukannya dan mencoba mengintip ke layar laptopnya. Ku kira dia lagi ngerjain tugas atau apalah ternyata malah cengengesan baca status teman-temannya di facebook. Kalau dipikir nggak mungkin juga seorang Riva dapat ilham sampai-sampai tugas yang sebenarnya nggak ada malah dikerjakan. Aku nggak terlalu mengerti yang bikin cengengesan temanku ini. Aku yang lola atau memang Riva yang lagi konslet otaknya. Pada akhirnya aku ikutan cengar-cengir kayak orang bego padahal nggak  tau apa yang lagi kuketawain. Itung-itung kasih sumbangan gigi ke teman biar nggak disebut orang yang nggak mempunyai selera humor. Sebenarnya alasanku nyambung nggak sih...
Sambil membuka bungkus permen karet dan mengunyahnya, pandanganku berlari mencari sosok Ara. Gila, sepi banget tanpa kehadiran anak cengeng itu. Apa dia nyasar ke kampusnya sendiri sampai-sampai butuh waktu satu jam buat menemukan sobat-sobatnya? Ah, paling-paling dia kecantol sama si abang siomay yang sering stay dikantin and jadi idola para mahasiswa karena mukanya yang kecipratan dikit sama justin beiber.
“oiiiii.....” panggil Ara tiba-tiba yang masih berjarak sepuluh meter dari tempatku berada. Dia melambaikan tangan dengan senyuman yang merekah.
Aku malas membalasnya. Ku pandang dia dengan ekspresi datar. Ara mendekat. Semakin mendekat senyumnya luntur dan berganti dengan dahi berkerut melihatku.
“kenapa, Cha?”
“sini tanganmu.” Kataku tetap dengan ekspresi datar.
Ara tanpa curiga menyerahkan tangannya padaku.
“buka.”kataku lagi.
Aku tau dia bingung. Terlihat sekali dari mimik wajahnya. Tapi justru itu yang ku harapkan. Sambil menahan tawa, aku memuntahkan permen karetku dan meletakkannya di atas telapak tangan Ara. Secepat kilat Ara menarik tangannya dan memandang permen karet bekas kunyahanku. Tawaku meledak melihat dia panik sambil mengumpat padaku.
“gila kamu, cha! Jorok! Ihh...!! Ichaaaaa....!” teriaknya kesal.
“hahahaha...” aku ngakak puas.
Riva menoleh ke arah kami meninggalkan facebook-nya.
“ya ampun, Cha!” teriak Riva begitu melihat hasil pekerjaanku.
Cepat-cepat Riva memberikan tisu kepada Ara. Ara menyambarnya tanpa basa-basi. Dibersihkan telapak tangan dengan tampang kesal. Tawaku tak berhenti juga saking lucunya melihat dua temanku dengan tampang ingin membunuhku.
“sumpah... jorok...!!! jauh-jauh dari aku, Cha!”
“jauh-jauh? Beneran nih? Ridho nggak bakal dapat karma dong!” kataku masih dengan tawa. Kali ini dengan tawa kecil.
“ahh... iya! Aku punya info baru!” kata Ara yang sudah berhasil mengusir permen karetku dari telapak tangannya.
“hmmm?” aku bergumam menyambut info baru Ara.
“apa, Ra?” kata Riva antusias. “eh, bentar.”
Riva kembali mengutak-atik laptopnya. Bukan untuk melanjutkan facebook­-nya tapi untuk mengakhirinya. Cukup dengan lima menit laptopnya sudah tersimpan di tas berwarna hijau toska milik Riva pastinya.
“daaaaahhhh... facebook....”
Otak Riva mulai konslet. Aku dan Ara memandangnya heran tapi dia cuek bebek seolah sikap nggak wajarnya dianggap wajar. Lalu mulutnya terbuka memulai pembicaraan.
“apa infonya?”
“aku punya daftar selingkuhannya Ridho. Ini kongkrit dan nggak mungkin salah.”
“itu infonya?” tanyaku lemas.
“cha, punya info yang lebih nggak penting nggak?” Riva mencibir.
“ada, Va. Aku punya daftar orang bego sedunia termasuk yang disebelahku ini.” Aku melirik Ara. Dia langsung mendengus kesal.
“aishhh... ini penting tau!”
“nggak penting buat kita.” Balas Riva.
“iya nih, kirain ada info obama pup di rumah kamu, Ra, atau Albert Einsten minta diajarin nyalain tv and ngajakin clubbing!”
“kalian mau kutraktir ke kafe merdeka nggak sih?!”
“mau!” jawab aku dan Riva kompakan. Semangat kami langsung berkobar mendengar kata traktir di telinga kami. Dasar matre!
“bagus! Ayo kita jalankan misi demi hidup yang lebih baik!” kata Ara sok nasionalis.
“ayooooo....” teriak kami mengikuti gaya para pejuang Indonesia jaman dahulu.
Kami melangkah tegap mengikuti sang komandan Ara menuju medan tempur, eh maksudku menuju mobilnya. Entahlah kali ini apalagi yang direncanakan Ara. Kalau dpikir-pikir yang jadi pembuat karma bukan aku tapi Ara sendiri. Tak apalah untuk pertama kali aku yang jadi si malaikat sedangkan Ara yang jadi si iblis dari malaikat sedangkan Riva? Entahlah...
***
Mungkin jika semak-semak bisa bicara akan menjerit kesakitan karena telah dianiaya oleh Ara dan Riva. Mereka berdua tanpa sadar menginjak semak-semak tak berdosa, saking asiknya mengawasi dan melihat aksi si pembuat karma. Iya, itu aku. Aku sedang berdiri di depan Ridho dan menatapnya sinis. Di sekitarku banyak cewek-cewek yang juga memandangnya sinis. Mereka adalah cewek-cewek koleksi Ridho. Aku yang memanggil mereka disini. Di taman belakang kampus tempat Ridho mencari cewek eh maksudku tempatnya mencari ilmu.
Ku akui dia tampan. Tapi kalau dibandingkan dengan justin beiber, level ketampanan Ridho di bawah jurang. Tapi senyum manisnya mengalahkan senyum justin beiber. Pantas saja cewek-cewek pengen minta tolong saking nggak kuatnya dengan cover  Ridho yang perfect.  Ya, aku mengerti kenapa cewek-cewek pada jatuh hati dengannya. Dan aku mengerti satu fakta dari cowok playboy, awalnya ramah, tapi dalamnya busuk.
“Nah, liat kan sifat asli dari cowok yang di depan kita ini?” aku mulai membuat suasana panas.
“heh, jadi lo deketin gue cuma buat ngelakuin ini? Cuma mau ngerjain gue? And bikin gue bersalah di depan mereka?” kata Ridho kesal.
“kalau ku jawab iya?” jawabku dengan enteng.
“apa hak lo? Gue punya salah apa sama lo?”
“bukan aku, tapi kamu punya segudang salah sama cewek-cewek ini!”
“betuuuuuul...!” jawab para cewek kompak.
“aduhhhh....”
Tiba-tiba Ara keluar dari persembunyiannya sambil menghentak-hentakkan kakinya. Semua perhatian jadi beralih kepadanya. Ara yang sadar telah diterkam oleh ribuan pasang mata langsung nyengir tanpa dosa. Hey, hey, menurut rencana belum saatnya Ara muncul. Seharusnya beberapa menit lagi dia membuat si aktor utama terkejut.
“hehehe... maaf ganggu, banyak semut disini.” Katanya dengan tampang penuh malu.
“ohhh... lo, Ra dalang dari semua ini.” Bentak Ridho ketika mengenali orang yang pernah disayanginya muncul. Mungkin.
“kalau iya kenapa?” tantang Ara. Mungkin sudah kepalang basah untuk melanjutkan permainan ini. “lo kira aku bakal diem aja atas kelakuan kamu yang seenaknya. Lo sakit kan? Lihat! Ini semua aku rancang biar kamu ngerasain sakit hati yang sama kayak aku!” kata-katanya terus menghujam ke cowok yang membuatnya emosinya memuncak.
Aku hanya diam lalu teringat dengan Riva. Dia masih bersembunyi di balik semak-semak itu. Aku tahu dia hanya pemain penonton kelas VIP yang spesial tapi juga nggak ada hubungannya dengan semua ini. Sejenak aku melihat raut wajahnya yang terlihat sedih. Apa dia terlalu menghayati kisah ini ataukah... Entahlah. Aku nggak sempat berpikir ketika emosi Ara terus memuncak. Lebih baik aku membuat ini menjadi lebih dingin.
“ok, lo menang, Ra. Tapi Cuma untuk hari ini. Gue bakal pastiin lo akan terima lebih dari yang lo buat!”
“coba aja. Dasar playboy cap gajah duduk!” teriak Ara kesal.
Rasanya ingin tertawa mendengar kata-kata Ara barusan. Itu kan kata-kataku. Kata-kata yang diprotes oleh dirinya. Tapi malah digunakan disaat suasana panas seperti ini. Ara kamu waras nggak sih?
“ayo, Ra. Permainan udah selesai.” Kataku menyelesaikan cerita ini.
Aku menggiringnya menjauhi Ridho. Untungnya dia menuruti semua perintahku. Kutatap tajam ke arah Ridho sebagai tanda perpisahankku. Lalu tanpa dikomando semua cewek koleksi Ridho menggantikan tatapan tajamku. Mereka mengelilingi Ridho untuk menghakiminya. Aku nggak peduli selanjutnya kejadian bagaimana yang akan menimpa Ridho. Yang jadi perhatianku sekarang adalah Ara yang diam tanpa suara. Tapi aku tau sebenarnya dia ingin menangis, dia hanya nggak ingin terlihat lemah di depan orang-orang itu. Sedangkan Riva melangkahkan kaki ke arah kami sambil menyodorkan tisu. Kami bertiga menuju ke tempat parkir. Mengantarkan Ara ke rumahnya dan kurasa sebagai sahabatnya aku dan Riva wajib menghiburnya.
“cha, thanks ya!”
“sama-sama. Itu tugasku, Ra!”
“Riva makasih..”
“iya, yuk balik. Besok aku nggak mau liat Ara yang kayak gini lagi.” Kata Riva tersenyum manis.
“Kalau masih sedih, bisa-bisa traktiran ke kafe merdeka batal nih...” candaku.
“Icha!” Riva langsung melotot kepadaku.
“hehehe.. bercanda, Va.” Kataku sambil menjulurkan lidah.

Ara tersenyum kecil. Aku sedikit lega melihatnya. Kalau umpama kecelakaan, tawa kecil Ara sebagai pertolongan pertama. Dan aku adalah si ahli medis. Dan Riva? Kurasa dia lebih cocok sebagai tandu penopang si korban. Sahabat memang harus saling melengkapi. Entah seberapa besar atau kecil peran sahabat itu.
Wednesday, June 26, 2013 0 comments

Masih

           Bergegas aku mengikatkan tali sepatu ketsku berwarna coklat tua. Ku sempatkan mengintip  jarum jam yang berdetak lirih di dinding kamarku. Masih jam 07.00. Masih terlalu pagi untuk berangkat ke kampus, tapi aku sudah dibuat kerepotan oleh tuntutan Mario yang mewajibkan aku mengikuti caranya yang tepat waktu. Ah tidak. Mungkin lebih tepatnya datang lebih awal agar kami punya waktu lebih banyak mengobrol. Dan kalau tidak dituruti maka aku akan dapat masalah besar. Jurus ngambeknya bakal keluar. Dering SMS-ku berbunyi. Ku sambar handphoneku secepat kilat di atas meja belajar kamarku. Tampang sebel langsung kupasang ketika membaca SMS dari Mario.
            “Iya, iya bawel. Ini juga udah mau berangkat!” gerutuku kesal.
            Ku alihkan pandanganku sejenak ke arah kalender yang terletak di atas meja dekat kamar tidurku. Aku memandang kosong padanya. Tepat dua bulan aku putus dengan Dhika. Aku menghela nafas. Kemudian diam sejenak. Lalu secepat kilat mengambil motorku di garasi dan segera meluncur ke kampus.
            Aku punya sebuah kisah cinta. Kisah cinta yang tak berakhir bahagia bak cinderela dan pangeran tapi juga bukan kisah yang setragis romeo and juliet. Ini Cuma kisahku antara aku dan Mario serta orang yang berjajar di dekat kami. Kami adalah teman dekat. Sebenarnya tak ada kata resmi bahwa kami adalah teman dekat. Dia adalah mantan kekasihku sebelum Dhika. Sejak aku putus dengan Dhika, dia terus menemaniku. Mendengarkan semua kekecawaanku yang disebabkan monster berjubah malaikat bernama Dhika yang lebih memilih cewek lain. Dia selalu baik padaku. Dan aku tahu bentuk kebaikannya itu tak bisa dikatakan dengan sebutan simpati dari seorang “mantan kekasih”. Aku sempat berpikir kalau proses kedekatanku dengannya bisa dibilang CLBK (Cinta Lama Belum Kelar). Benar atau salah aku sendiri tak tahu.
            “Hey, ngomong-ngomong udah berapa lama kamu putus sama Risma?” tanyaku pada Mario.
            Aku mencomot sandwitch yang diletakkan Mario di atas bangku taman kampus.
            “Baru datang udah nanya gitu.” Jawabnya sambil menarik kantung kertas yang tadinya berisi sabdwitch. Dia melongok isinya. “Udah gitu sandwitchku dirampok juga.”
            “Sorry, aku belum sarapan hehe...” Sahutku dengan lafal pengucapan yang berantakan karena mulutku terisi penuh potongan sandwitch miliknya.
            “Berapa ya.. kayaknya nggak lama sebelum kamu putus sama Dhika. Lima bulan mungkin. Kenapa? Masih kangen ya sama Dhika?”
            “Ih... amit-amit!” Pekikku spontan.
            Bisa dibilang karena sama-sama patah hati, kami jadi punya alasan untuk dekat. Walaupun sebelum terjadinya insiden patah hati, kami tetap menjadi teman dekat. Hanya saja waktu itu kami sudah punya prioritas soal hati masing-masing. Dan walau tak ada rencana untuk lagi menjadi seperti sekarang ini, tapi aku yakin dia juga berpikir kalau semua ini memang akan terjadi. Layaknya sepasang merpati yang menemukan rumah kami yang dulu pernah diambil oleh merpati lain. Kami akhirnya bertemu di persimpangan jalan dan memutuskan untuk memlih jalan yang sama.
            Handphone milik Mario menyala dan bergetar. Kurasa ada SMS yang masuk. Aku dan Mario sama-sama melirik ke sumber getaran itu. Tanpa basa-basi Mario membaca isi SMS-nya. Raut mukanya tak berubah. Kurasa bukan SMS yang bisa dikatakan penting. Tapi aku masih saja penasaran dengan si pengirim SMS. Aku menatap Mario dengan seksama. Dia yang menyadarinya membalas tatapanku dan mulai menggerakkan bibirnya.
            “Dari Risma.“ Katanya yang seketika meruntuhkan tanda tanya dalam otakku.
            “Aku cemburu lho...” Sahutku sambil nyengir kuda.
            “Jangan kira udah dapat maafku terus kita bisa pacaran lagi.”
            Aku berdiri membelakangi tubuh Mario yang terduduk manis di bangku taman. Kurasakan aliran darahku mulai memanas. Kutatap langit biru untuk mendinginkan lagi aliran darahku. Ku bentangkan kelima jari tanganku pada sang mega biru. Seolah aku ingin menggapai langit biru itu. Aku tahu tak akan pernah bisa aku menggapainya. Aku juga tahu seperti halnya hati Mario yang tak pernah bisa kugapai walau dalam hatiku selalu berbisik aku tak akan lagi mengulangi kesalahan yang sama.
             “Aku tahu, aku tahu. Aku juga takut pacaran lagi sama kamu, tahu!”
            “Hey, hey, yang jadi korbannya kan aku.”
            Aku menoleh ke arahnya sambil mengukir senyum tipis.
            “Takut melukai hatimu lagi.”
            Mario terdiam. Suasana mati. Luka yang kupatri di sudut hati Mario tak akan pernah sembuh walau sekeras apapun aku memperbaikinya. Tapi setidaknya aku lega dia tak mencaci dan menghujatku dengan kebencian. Dia malah menyambutku dengan senyuman hangatnya. Karena aku tahu di sudut hatinya yang paling kecil selalu ada tempat untukku. Dia memaafkanku walau butuh waktu yang lama. Hingga sampai pada saat sekarang. Dia memerintahkan dirinya sendiri untuk menekan rasanya agar tidak tumbuh. Agar dia tidak lagi merasakan perih karenaku. Aku sangat memahami itu. Mungkin semacam karma yang terbentuk melalui si monster Dhika. Tidak. Aku pun sama seperti Dhika. Monster bagi Mario. Berkat Dhika, aku tahu rasanya dikhianati. Berkatnya aku mengerti isi hati Mario atas perbuatan yang kubuat padanya.
            Mario masih terduduk. Dia menangkap tangan kananku dengan kedua tangannnya. Dia menggenggam tanganku lembut. Aku masih dalam posisiku. Masih membelakangi tubuhnya tanpa berani menoleh. Tangan yang tadi mencengkram langit kini kuturunkan. Pandanganku beralih lurus ke depan. Menatap kosong bangunan kampus yang masih sepi.
            “Maaf dariku bukti kalau aku nggak benci kamu.” Jelasnya singkat. Dia terdiam lagi beberapa detik, lalu melanjutkan kata-katanya. “Tetaplah bersamaku walau serumit apapun hubungan kita.”

            Seperti yang kubilang tadi. Kisah ini tak berakhir bahagia, atau mungkin ini belum menjadi akhir dari kisahku antara Mario dan aku. Rasa kami sama. Tapi kami tak bisa mempatenkan rasa ini menjadi hubungan yang lebih jelas. Rasa yang tak bisa memiliki masing-masing di antara kami dengan utuh. Ada dinding pembatas yang tak bisa kulampaui. Dinding yang dibangun oleh Mario dengan kokohnya. Rasa yang tersisa ini hanya mampu menunggu di balik dinding sambil sesekali dirasuki ketakutan melakukan kesalahan yang sama. Pada akhirnya kami hanya mampu menciptakan kisah yang tak ada akhir yang jelas. Kisah yang menggantung. Kisah yang tak tau sampai kapan akan berakhir. Entah itu akhir yang bahagia atau akhir yang menyakitkan. Aku pun tak tahu itu.
Masih/end
Tuesday, June 25, 2013 0 comments

Daftar Lagu Paramore

Paramore merupakan sebuah grup musik asal Amerika Serikat yang dibentuk pada tahun 2004. Grup musik ini bermarkas di FranklinTennessee. Saat ini mereka beranggotakan 3 orang yaitu vokalis Hayley Williams, Bassist Jeremy Davis, dan gitaris Taylor York. Saya sih cuma mau ngebahas sebagian dari semua lagu paramore. Oke, langsung aja saya bahas lagu-lagu favorite saya yang sering saya putar di mp3. Ini cuma pendapat pribadi lho, agan sekalian juga pasti punya pendapat sendiri. See!
1. Ignorance 
4. Now 
8. Careful 
9. Monster 
10. Decode 
Silahkan kalau ada belum yang kalian denger bisa langsung download aja di situs yang udah disediakan and jangan lupa tinggalkan komentar. Thank you.

0 comments

KARMA part one

Hidupku penuh dengan tangisan. Bukan berarti hidupku sangat menyedihkan atau kayak dongeng bawang merah dan bawang putih yang penuh dengan penderitaan. Itu sih terlau berlebihan atau orang sering bilang dengan istilah lebay! Tapi ada benarnya juga dalam dongeng bawang putih dan bawang merah itu. Di dunia ini pasti ada tokoh baik dan tokoh jahat. Lalu aku? Aq termasuk di golongan apa? Entahlah. Banyak yang bilang aku seperti malaikat, tapi korbanku bilang aku ini iblis. Whatever-lah mereka mau bilang apa. Apa peduliku? Aku hanya puas jika aku bisa membuatkan karma untuk orang orang jahat. Toh itu memang pantas untuk mereka. Dan untuk sekian kalinya tangisan berada dihadapanku.
“chaaaaa,,, Ridho chaaa...!!!” kata Ara diikuti isak tangisnya.
“iya aku tau,, playboy cap gajah duduk!’ kataku ketus.
“hehhh... napa ada gajah duduknya? Kamu kira sarung? Aku lagi gak pengen bercanda cha...”
“pengennya apa? Pengen aku buatin karma tuk si yayank mu tercnta?”
“aissshhhh...” Ara mendesis kesal. “udah tau kog masih tanya...”
“ra,, aku kan udah pernah bilang ridho tuh kolektor cewek! Tanggung sendiri deh sakit hatinya...”
“tau darimana?”
Aku hanya mengangkat bahu.
“satu minggu traktir aku di cafe merdeka.”
“ihhhh... kemarin-kemarin aja cuma minta oralit ma nanas satu kilo. ”
“suka-suka aku dong!”
“ok! Tapi yang satu ini kamu harus bener-bener buat jungkir balik! Bikin dia pengen gali kuburnya sendiri!”
“kalau itu mah minta tolong sama tukang gali kubur aja!”
“hehehe...”
“udah lupa ya sama nangisnya?”
“aishhhhh...” desisnya sekali lagi.
Ku pandangi sekeliling kamar Ara berhias pernak pernik lucu berbalut tembok warna biru muda. Benar-benar cewek sejati. Sejenak pikiranku sibuk merangkai potongan argumen tentang Ara. Dia cantik. Pintar. Tapi dia tak pernah punya teman bernama cinta. Malah punya teman pembuat karma. Apa kehadiranku sudah merupakan karma? Lagi-lagi aku berpikir begitu.
Aku menggeleng kepala. Kubuang semua argumen itu. Lalu aku beranjak dari kamar tidur Ara menuju dvd player dan menyetel musik last child yang berjudul pedih. Kemudian kembali kurebahkan tubuhku di atas kamar tidur milik teman cengengku. Belum ada satu menit menikmati empuk kapas berbalut kain, Ara tiba-tiba melemparku dengan guling. Hey!
“temannya sedih malah ditinggal tidur!”
“Ra, malam ini aku tidur disini ya?”
“berantem lagi ortumu?”
Mulutku tertutup rapat. Sama sekali nggak nafsu menjawab pertanyaan Ara. Ku pejamkan mata sambil menggumam. Tanpa sadar aku terbawa dalam alunan lagu yang terdengar lirih. Pedih oleh last child.
***
Pulang kuliah Ara langsung menyeretku ke dalam mobilnya. Dan Riva mengekor di belakang dengan tanda tanya di kepalanya. Aku pun nggak mengerti isi dari otak teman cengengku ini. Kebetulan aku nggak membawa mobil karena nitip parkir di rumah Ara. Yahhh.. karena aku sudah menginap dirumahnya jadi aku berangkat ke kampus bersamanya, dan kebetulan lagi kami satu kampus plus satu angkatan.
“mau kemana sih?” aku nggak tahan mengeluarkan pertanyaanku.
“salon.”jawab Ara.
“idih... najis! Nggak ada tempat lain apa?” kataku merinding genit.
“ada apa sih ra ke salon segala?”
“jalanin misi dong! Kalau mau godain cowok harus tampil cantik!”
“ogah banget. Aku kan udah cantik dari sananya. Nggak perlu dipermak!” kataku tersenyum jahil.
“hueeeeekkkzz!” mereka kompakan meniru orang yang baru ketahuan hamilnya.
“hahaha.... udah ah langsung ngasih pelajaran si ayankmu itu aja.”
“nggak bisa gitu dong! Rencana kali ini harus perfect!”
“aahhh... aku tau... mau buat karma ya?” Riva menebak-nebak.
“seratus untuk nona Riva!” jawab Ara diikuti langkah kakinya masuk ke dalam mobil. Dia mengambil kemudi sedangkan aku dan Riva duduk di belakang. Sempat-sempatnya Ara menoleh ke belakang sebelum mesin dinyalakan dan berceloteh lagi. “berapa lapis?” lanjutnya.
“ratusan!” sekarang giliran aku dan Riva yang kompakan.
“hahaha nggak nyambung! Garing!” cibirku kemudian.
“biarin....!” jawabnya sambil menyalakn mesin.
Mobil honda jazz berbalut warna merah delima melaju melawan hembusan angin yang menerpa kaca depan mobil. Ara fokus dengan pandangan jalan raya. Riva sibuk mengutak-atik benda ciptaan Graham Bell lalu aku hanya bengong, saking bingungnya mau ngapain. Sedetik kemudian kuputuskan untuk mengcopy kegiatan Riva. Sampai disini aku masih bingung. Sms nggak ada, Telepon juga nggak berdering. Akhirnya aku login fb di hape, dan sialnya statusku miskin komentar. Ada yang punya saran mengisi waktu senggang dalam perjalanan?
Untung jarak antara salon dan kampus Cuma butuh waktu sekitar sepuluh menit jadi aku nggak perlu jenuh menikmati kebengonganku. Kedua kalinya Ara menyeret tanganku dengan cepat. Takut aku kabur kali. Aku paling anti pergi ke salon, kayak tante-tante yang mau konser aja. Hush!
Cuma dalam hitungan detik aku sudah duduk di bangku bekas para cewek centil. Pastinya di depanku ada sebuah kaca yang terpampang lebar. Ara dan Riva berdiri di belakangku. Mungkin sedang menunggu si tukang salon yang tak kunjung datang. Lalu mataku berasa ingin muntah melihat seorang cowok dengan gaya lemah gemulai mirip cewek. Dari cara berpakainnya, cara berjalannya, tata rambutnya, ihhh... ini sih cowok jadi-jadian. Tubuhku langsung bergidik merinding melihatnya. Amit-amit deh!
“hei non! Mau permak siapa nih?” kata si tukang salon yang lemah gemulai itu dengan gaya menjijikkan.
“nggak permak total sih... Lihat deh nggak jelek-jelek amat kan?” jawab Ara sambil memandangku.
“kurang ajar... mau ngehina apa puji aku nih?”
“hehehe santai cha...” Ara meringis tanpa dosa kepadaku diikuti tawa kecil dari Riva. “tolong ya.. dibuat secantik mungkin.”
“beres deh!”
“yuk, Va. Kita tunggu si ratu pembuat karma ini.” Kata Ara langsung kabur begitu aja.
“heh!” Aku melotot tapi Ara malah tersenyum jahiil kepadaku. Dasar!
“tenang aja non.. cantik-cantik kok jutek.” Kata si cowok jadi-jadian yang malah buatku tambah bad mood.
Secepat kilat kukeluarkan hape kesayannganku. Maklum Cuma punya hape satu, jadi yang disayang Cuma hape ini. Iyalahh... nggak ada lagi yang bisa disayang. Kali ini aku tau bakal berbuat apa. Yap! Earphone langsung kuselipkan di kedua telingaku. Kuputar mp3 dan kudengarkan lagu favoritku. Kupikir lebih baik daripada mengurusi orang yang bikin sakit mata.
Hari ini kudendangkan lagu yang ingin kunyanyikan
Terkenang semua kenangan yang t’lah ku alami
Ingin kubuka lembar baru untuk menemani hariku
Tak ada lagi kesedihan selimuti diriku
Lagu J.Rock  berjudul ceria mengalun lembut masuk ke otakku. Aku benar-benar ngfans berat sama band satu ini. Musiknya yang buatku semangat tiap kali mendengarnya. Seperti obat penyemangat hidupku.
***
            “taraaaaaaa..... ini kampusnya Ridho!” teriak Ara malu-maluin.
“keren.” pujiku dengan tampang datar.
“ihhhh keren bangeeeet!” Ara bertingkah kayak cewek imut tapi bedanya temanku ini nggak imut. “harusnya bilang gitu dong, Cha! Kurang ekspresi!”
“lebaaay!” cibirku kompakan bareng Riva.
“ahhh... nggak asik. Udah sana langsung masuk aja.”
“yang mana orangnya?”
“yang pake baju biru...” Ara menunjuk sesosok cowok nggak jauh dari tempatku berada.
“ohhh... yang hidungnya pesek ya?”
“hahahaha... jangan ngomongin diri kamu sendiri, cha!”
“heh... aku nggak pesek!”
“percaya kok!” kata Ara dan Riva kompakan menahan tawa.
“aishhhhh....” desisku kesal lalu meninggalkan mereka menuju target utama.
Celana jins dengan baju putih berenda di sekitar leher melekat dalam tubuhku. Rambut hitamku di buat keriting dengan bando yang putih yang berhias seperti mahkota. Aku merasa seperti putri raja yang ingin tampil cantik di hadapan pangerannya. Ya, seorang pangeran buaya darat. Ku mantapkan langkah kaki menuju sang pangeran. Ku ukir senyum semanis mungkin walau nggak semanis Angelina Jolie. Dan dia balik tersenyum padaku. Yes! Awal yang bagus.
Lalu tiba-tiba ada sesosok cewek yang berlari di belakangku menuju target utama dengan muka sumringah. Hey,, jangan-jangan Ridho bukan membalas senyumku tapi malah menyambut gadis centil yang berdiri di hadapanku. Dan parahnya lagi mereka berdua nggak merasakan kehadiranku. Dengan cuek mereka meninggalkanku.
“aduhhhh....” rintihku sambil memegang tumit kaki.
Ridho menoleh. Yahaaa.. ini baru berhasil.
“kamu nggak apa-apa?”
“kayaknya keseleo deh kakiku.” jawabku sambil terus berakting.
“di depan sana ada UKS, kamu bisa minta obat di sana.”
“makasih.”
Dia kembali melanjutkan langkah kakinya. Sial. Katanya playboy tapi cueknya minta ampun. Gimana rencanaku bisa berjalan nih...
“aduhhhhh... aduhhh...” kali ini aku meninggikan nada suara.
“kenapa lagi?”
“kayaknya nggak bisa jalan deh.”
Rasanya aku pengen menjilat ludahku sendiri. Benar-benar memalukan tingkahku.
“kamu punya dua kaki kan? Apa dua-duanya keseleo?”
Aku menatapnya bengong. Gaya bicaranya ketus. Apa ini yang namanya buaya darat? Lirih kudengar tawa kecil dari cewek di sebelah Ridho. Reflek aku menekuk muka. Gagal. Kayaknya drama ini harus segera ku akhiri daripada tambah berantakan rencanaku.
“maaf kalau ganggu. Dan terima kasih buat yang tadi.”
Tanpa menatap matanya aku langsung ngacir ke tempat Ara dan Riva menunggu. Mereka senyam-senyum menyambutku. Dan aku tau apa yang akan mereka tanyakan setelah ini.
“gimana? Sukses nggak?” tanya Ara dan Riva yang lagi-lagi kompakan.
“cuek abis!” jawabku kesal.
“loh? Kok bisa?”
“mana ku tau!”
“baju biru kan?”
“iya.”
“celana jins?”
“iya.”
“rambut cepak?”
“iya.”
“loh?”
“eh.... rambutnya agak panjang.”
“bukan rambut cepak?”
“iya.”
“kayak gini nggak?”
Ara menyodorkan sebuah foto padaku. Aku mengamatinya sejenak.
“bukan.”
“ichaaaaa..... kamu salah orang.....!” Ara langsung menjerit. “pantesan aja cuek gitu orangnya. Payah kamu, cha!”
“nggak usah teriak pas di telinga aku dong!”
“kenapa bisa salah orang sih!”
“wajar dong! Aku nggak pernah liat mahluk namanya Ridho kok.”
“terus gimana, ra?” tanya Riva tiba-tiba.
“cabut! Ntar kupikir-pikir lagi deh...”

Aku mengangkat bahu. Ara menghela nafas dengan tampang cemberut. Riva tersenyum kecil. Gabungan ekspresi itu kami bawa ke mobil dan berakhir ke rumah masing-masing.
KARMA part one/end
 
;