Bergegas aku mengikatkan tali sepatu ketsku berwarna coklat
tua. Ku sempatkan mengintip jarum jam
yang berdetak lirih di dinding kamarku. Masih jam 07.00. Masih terlalu pagi
untuk berangkat ke kampus, tapi aku sudah dibuat kerepotan oleh tuntutan Mario
yang mewajibkan aku mengikuti caranya yang tepat waktu. Ah tidak. Mungkin lebih
tepatnya datang lebih awal agar kami punya waktu lebih banyak mengobrol. Dan
kalau tidak dituruti maka aku akan dapat masalah besar. Jurus ngambeknya bakal
keluar. Dering SMS-ku berbunyi. Ku sambar handphoneku secepat kilat di
atas meja belajar kamarku. Tampang sebel langsung kupasang ketika membaca SMS
dari Mario.
“Iya, iya
bawel. Ini juga udah mau berangkat!” gerutuku kesal.
Ku alihkan
pandanganku sejenak ke arah kalender yang terletak di atas meja dekat kamar
tidurku. Aku memandang kosong padanya. Tepat dua bulan aku putus dengan Dhika.
Aku menghela nafas. Kemudian diam sejenak. Lalu secepat kilat mengambil motorku
di garasi dan segera meluncur ke kampus.
Aku punya sebuah
kisah cinta. Kisah cinta yang tak berakhir bahagia bak cinderela dan pangeran
tapi juga bukan kisah yang setragis romeo and juliet. Ini Cuma kisahku
antara aku dan Mario serta orang yang berjajar di dekat kami. Kami adalah teman
dekat. Sebenarnya tak ada kata resmi bahwa kami adalah teman dekat. Dia adalah mantan
kekasihku sebelum Dhika. Sejak aku putus dengan Dhika, dia terus menemaniku.
Mendengarkan semua kekecawaanku yang disebabkan monster berjubah malaikat
bernama Dhika yang lebih memilih cewek lain. Dia selalu baik padaku. Dan aku
tahu bentuk kebaikannya itu tak bisa dikatakan dengan sebutan simpati dari
seorang “mantan kekasih”. Aku sempat berpikir kalau proses kedekatanku
dengannya bisa dibilang CLBK (Cinta Lama Belum Kelar). Benar atau salah aku
sendiri tak tahu.
“Hey,
ngomong-ngomong udah berapa lama kamu putus sama Risma?” tanyaku pada Mario.
Aku mencomot
sandwitch yang diletakkan Mario di atas bangku taman kampus.
“Baru datang
udah nanya gitu.” Jawabnya sambil menarik kantung kertas yang tadinya berisi
sabdwitch. Dia melongok isinya. “Udah gitu sandwitchku dirampok juga.”
“Sorry, aku
belum sarapan hehe...” Sahutku dengan lafal pengucapan yang berantakan karena
mulutku terisi penuh potongan sandwitch miliknya.
“Berapa ya..
kayaknya nggak lama sebelum kamu putus sama Dhika. Lima bulan mungkin. Kenapa? Masih
kangen ya sama Dhika?”
“Ih...
amit-amit!” Pekikku spontan.
Bisa
dibilang karena sama-sama patah hati, kami jadi punya alasan untuk dekat.
Walaupun sebelum terjadinya insiden patah hati, kami tetap menjadi teman dekat.
Hanya saja waktu itu kami sudah punya prioritas soal hati masing-masing. Dan
walau tak ada rencana untuk lagi menjadi seperti sekarang ini, tapi aku yakin
dia juga berpikir kalau semua ini memang akan terjadi. Layaknya sepasang
merpati yang menemukan rumah kami yang dulu pernah diambil oleh merpati lain.
Kami akhirnya bertemu di persimpangan jalan dan memutuskan untuk memlih jalan
yang sama.
Handphone
milik Mario menyala dan bergetar. Kurasa ada SMS yang masuk. Aku dan Mario
sama-sama melirik ke sumber getaran itu. Tanpa basa-basi Mario membaca isi
SMS-nya. Raut mukanya tak berubah. Kurasa bukan SMS yang bisa dikatakan
penting. Tapi aku masih saja penasaran dengan si pengirim SMS. Aku menatap
Mario dengan seksama. Dia yang menyadarinya membalas tatapanku dan mulai
menggerakkan bibirnya.
“Dari
Risma.“ Katanya yang seketika meruntuhkan tanda tanya dalam otakku.
“Aku cemburu
lho...” Sahutku sambil nyengir kuda.
“Jangan kira
udah dapat maafku terus kita bisa pacaran lagi.”
Aku berdiri
membelakangi tubuh Mario yang terduduk manis di bangku taman. Kurasakan aliran
darahku mulai memanas. Kutatap langit biru untuk mendinginkan lagi aliran
darahku. Ku bentangkan kelima jari tanganku pada sang mega biru. Seolah aku
ingin menggapai langit biru itu. Aku tahu tak akan pernah bisa aku
menggapainya. Aku juga tahu seperti halnya hati Mario yang tak pernah bisa
kugapai walau dalam hatiku selalu berbisik aku tak akan lagi mengulangi
kesalahan yang sama.
“Aku tahu, aku tahu. Aku juga takut pacaran
lagi sama kamu, tahu!”
“Hey, hey,
yang jadi korbannya kan aku.”
Aku menoleh
ke arahnya sambil mengukir senyum tipis.
“Takut
melukai hatimu lagi.”
Mario
terdiam. Suasana mati. Luka yang kupatri di sudut hati Mario tak akan pernah
sembuh walau sekeras apapun aku memperbaikinya. Tapi setidaknya aku lega dia
tak mencaci dan menghujatku dengan kebencian. Dia malah menyambutku dengan
senyuman hangatnya. Karena aku tahu di sudut hatinya yang paling kecil selalu
ada tempat untukku. Dia memaafkanku walau butuh waktu yang lama. Hingga sampai
pada saat sekarang. Dia memerintahkan dirinya sendiri untuk menekan rasanya
agar tidak tumbuh. Agar dia tidak lagi merasakan perih karenaku. Aku sangat
memahami itu. Mungkin semacam karma yang terbentuk melalui si monster Dhika.
Tidak. Aku pun sama seperti Dhika. Monster bagi Mario. Berkat Dhika, aku tahu
rasanya dikhianati. Berkatnya aku mengerti isi hati Mario atas perbuatan yang
kubuat padanya.
Mario masih
terduduk. Dia menangkap tangan kananku dengan kedua tangannnya. Dia menggenggam
tanganku lembut. Aku masih dalam posisiku. Masih membelakangi tubuhnya tanpa
berani menoleh. Tangan yang tadi mencengkram langit kini kuturunkan.
Pandanganku beralih lurus ke depan. Menatap kosong bangunan kampus yang masih
sepi.
“Maaf dariku
bukti kalau aku nggak benci kamu.” Jelasnya singkat. Dia terdiam lagi beberapa
detik, lalu melanjutkan kata-katanya. “Tetaplah bersamaku walau serumit apapun
hubungan kita.”
Seperti yang
kubilang tadi. Kisah ini tak berakhir bahagia, atau mungkin ini belum menjadi
akhir dari kisahku antara Mario dan aku. Rasa kami sama. Tapi kami tak bisa
mempatenkan rasa ini menjadi hubungan yang lebih jelas. Rasa yang tak bisa
memiliki masing-masing di antara kami dengan utuh. Ada dinding pembatas yang
tak bisa kulampaui. Dinding yang dibangun oleh Mario dengan kokohnya. Rasa yang
tersisa ini hanya mampu menunggu di balik dinding sambil sesekali dirasuki
ketakutan melakukan kesalahan yang sama. Pada akhirnya kami hanya mampu
menciptakan kisah yang tak ada akhir yang jelas. Kisah yang menggantung. Kisah
yang tak tau sampai kapan akan berakhir. Entah itu akhir yang bahagia atau
akhir yang menyakitkan. Aku pun tak tahu itu.
Masih/end
0 comments:
Post a Comment