Jari lentik Riva bermain dengan lincah di
atas keyboard laptopnya. Aku penasaran dengan yang dilakukannya dan mencoba
mengintip ke layar laptopnya. Ku kira dia lagi
ngerjain tugas atau apalah ternyata malah cengengesan baca status
teman-temannya di facebook. Kalau
dipikir nggak mungkin juga seorang
Riva dapat ilham sampai-sampai tugas yang sebenarnya nggak ada malah dikerjakan. Aku nggak
terlalu mengerti yang bikin cengengesan temanku ini. Aku yang lola atau memang Riva yang lagi konslet
otaknya. Pada akhirnya aku ikutan cengar-cengir kayak orang bego padahal nggak
tau apa yang lagi kuketawain. Itung-itung kasih sumbangan gigi ke
teman biar nggak disebut orang yang nggak mempunyai selera humor. Sebenarnya
alasanku nyambung nggak sih...
Sambil membuka bungkus permen karet dan
mengunyahnya, pandanganku berlari mencari sosok Ara. Gila, sepi banget tanpa
kehadiran anak cengeng itu. Apa dia nyasar ke kampusnya sendiri sampai-sampai butuh
waktu satu jam buat menemukan sobat-sobatnya? Ah, paling-paling dia kecantol
sama si abang siomay yang sering stay dikantin
and jadi idola para mahasiswa karena
mukanya yang kecipratan dikit sama justin
beiber.
“oiiiii.....” panggil Ara tiba-tiba yang
masih berjarak sepuluh meter dari tempatku berada. Dia melambaikan tangan
dengan senyuman yang merekah.
Aku malas membalasnya. Ku pandang dia
dengan ekspresi datar. Ara mendekat. Semakin mendekat senyumnya luntur dan
berganti dengan dahi berkerut melihatku.
“kenapa, Cha?”
“sini tanganmu.” Kataku tetap dengan
ekspresi datar.
Ara tanpa curiga menyerahkan tangannya
padaku.
“buka.”kataku lagi.
Aku tau dia bingung. Terlihat sekali dari
mimik wajahnya. Tapi justru itu yang ku harapkan. Sambil menahan tawa, aku
memuntahkan permen karetku dan meletakkannya di atas telapak tangan Ara.
Secepat kilat Ara menarik tangannya dan memandang permen karet bekas
kunyahanku. Tawaku meledak melihat dia panik sambil mengumpat padaku.
“gila kamu, cha! Jorok! Ihh...!! Ichaaaaa....!”
teriaknya kesal.
“hahahaha...” aku ngakak puas.
Riva menoleh ke arah kami meninggalkan facebook-nya.
“ya ampun, Cha!” teriak Riva begitu melihat
hasil pekerjaanku.
Cepat-cepat Riva memberikan tisu kepada
Ara. Ara menyambarnya tanpa basa-basi. Dibersihkan telapak tangan dengan
tampang kesal. Tawaku tak berhenti juga saking lucunya melihat dua temanku
dengan tampang ingin membunuhku.
“sumpah... jorok...!!! jauh-jauh dari aku,
Cha!”
“jauh-jauh? Beneran nih? Ridho nggak bakal
dapat karma dong!” kataku masih dengan tawa. Kali ini dengan tawa kecil.
“ahh... iya! Aku punya info baru!” kata Ara
yang sudah berhasil mengusir permen karetku dari telapak tangannya.
“hmmm?” aku bergumam menyambut info baru
Ara.
“apa, Ra?” kata Riva antusias. “eh,
bentar.”
Riva kembali mengutak-atik laptopnya. Bukan
untuk melanjutkan facebook-nya tapi
untuk mengakhirinya. Cukup dengan lima menit laptopnya sudah tersimpan di tas
berwarna hijau toska milik Riva pastinya.
“daaaaahhhh... facebook....”
Otak Riva mulai konslet. Aku dan Ara
memandangnya heran tapi dia cuek bebek seolah sikap nggak wajarnya dianggap wajar. Lalu mulutnya terbuka memulai
pembicaraan.
“apa infonya?”
“aku punya daftar selingkuhannya Ridho. Ini
kongkrit dan nggak mungkin salah.”
“itu infonya?” tanyaku lemas.
“cha, punya info yang lebih nggak penting
nggak?” Riva mencibir.
“ada, Va. Aku punya daftar orang bego
sedunia termasuk yang disebelahku ini.” Aku melirik Ara. Dia langsung mendengus
kesal.
“aishhh... ini penting tau!”
“nggak penting buat kita.” Balas Riva.
“iya nih, kirain ada info obama pup di
rumah kamu, Ra, atau Albert Einsten minta diajarin nyalain tv and ngajakin
clubbing!”
“kalian mau kutraktir ke kafe merdeka nggak
sih?!”
“mau!” jawab aku dan Riva kompakan.
Semangat kami langsung berkobar mendengar kata traktir di telinga kami. Dasar
matre!
“bagus! Ayo kita jalankan misi demi hidup
yang lebih baik!” kata Ara sok nasionalis.
“ayooooo....” teriak kami mengikuti gaya
para pejuang Indonesia jaman dahulu.
Kami melangkah tegap mengikuti sang
komandan Ara menuju medan tempur, eh maksudku menuju mobilnya. Entahlah kali
ini apalagi yang direncanakan Ara. Kalau dpikir-pikir yang jadi pembuat karma
bukan aku tapi Ara sendiri. Tak apalah untuk pertama kali aku yang jadi si
malaikat sedangkan Ara yang jadi si iblis dari malaikat sedangkan Riva?
Entahlah...
***
Mungkin jika semak-semak bisa bicara akan
menjerit kesakitan karena telah dianiaya oleh Ara dan Riva. Mereka berdua tanpa
sadar menginjak semak-semak tak berdosa, saking asiknya mengawasi dan melihat
aksi si pembuat karma. Iya, itu aku. Aku sedang berdiri di depan Ridho dan
menatapnya sinis. Di sekitarku banyak cewek-cewek yang juga memandangnya sinis.
Mereka adalah cewek-cewek koleksi Ridho. Aku yang memanggil mereka disini. Di
taman belakang kampus tempat Ridho mencari cewek eh maksudku tempatnya mencari
ilmu.
Ku akui dia tampan. Tapi kalau dibandingkan
dengan justin beiber, level
ketampanan Ridho di bawah jurang. Tapi senyum manisnya mengalahkan senyum justin beiber. Pantas saja cewek-cewek
pengen minta tolong saking nggak kuatnya
dengan cover Ridho yang perfect. Ya, aku mengerti
kenapa cewek-cewek pada jatuh hati dengannya. Dan aku mengerti satu fakta dari cowok playboy, awalnya ramah, tapi dalamnya busuk.
“Nah, liat kan sifat asli dari cowok yang
di depan kita ini?” aku mulai membuat suasana panas.
“heh, jadi lo deketin gue cuma buat
ngelakuin ini? Cuma mau ngerjain gue? And bikin gue bersalah di depan mereka?”
kata Ridho kesal.
“kalau ku jawab iya?” jawabku dengan
enteng.
“apa hak lo? Gue punya salah apa sama lo?”
“bukan aku, tapi kamu punya segudang salah
sama cewek-cewek ini!”
“betuuuuuul...!” jawab para cewek kompak.
“aduhhhh....”
Tiba-tiba Ara keluar dari persembunyiannya
sambil menghentak-hentakkan kakinya. Semua perhatian jadi beralih kepadanya.
Ara yang sadar telah diterkam oleh ribuan pasang mata langsung nyengir tanpa dosa. Hey, hey, menurut
rencana belum saatnya Ara muncul. Seharusnya beberapa menit lagi dia membuat si
aktor utama terkejut.
“hehehe... maaf ganggu,
banyak semut disini.” Katanya dengan tampang penuh malu.
“ohhh... lo, Ra dalang dari
semua ini.” Bentak Ridho ketika mengenali orang yang pernah disayanginya
muncul. Mungkin.
“kalau iya kenapa?” tantang
Ara. Mungkin sudah kepalang basah untuk melanjutkan permainan ini. “lo kira aku
bakal diem aja atas kelakuan kamu yang seenaknya. Lo sakit kan? Lihat! Ini
semua aku rancang biar kamu ngerasain sakit hati yang sama kayak aku!”
kata-katanya terus menghujam ke cowok yang membuatnya emosinya memuncak.
Aku hanya diam lalu
teringat dengan Riva. Dia masih bersembunyi di balik semak-semak itu. Aku tahu
dia hanya pemain penonton kelas VIP yang spesial tapi juga nggak ada hubungannya dengan semua ini. Sejenak aku melihat raut
wajahnya yang terlihat sedih. Apa dia terlalu menghayati kisah ini ataukah...
Entahlah. Aku nggak sempat berpikir
ketika emosi Ara terus memuncak. Lebih baik aku membuat ini menjadi lebih
dingin.
“ok, lo menang, Ra. Tapi
Cuma untuk hari ini. Gue bakal pastiin lo akan terima lebih dari yang lo buat!”
“coba aja. Dasar playboy
cap gajah duduk!” teriak Ara kesal.
Rasanya ingin tertawa
mendengar kata-kata Ara barusan. Itu kan kata-kataku. Kata-kata yang diprotes
oleh dirinya. Tapi malah digunakan disaat suasana panas seperti ini. Ara kamu
waras nggak sih?
“ayo, Ra. Permainan udah
selesai.” Kataku menyelesaikan cerita ini.
Aku menggiringnya menjauhi
Ridho. Untungnya dia menuruti semua perintahku. Kutatap tajam ke arah Ridho
sebagai tanda perpisahankku. Lalu tanpa dikomando semua cewek koleksi Ridho
menggantikan tatapan tajamku. Mereka mengelilingi Ridho untuk menghakiminya.
Aku nggak peduli selanjutnya kejadian bagaimana yang akan menimpa Ridho. Yang jadi
perhatianku sekarang adalah Ara yang diam tanpa suara. Tapi aku tau sebenarnya
dia ingin menangis, dia hanya nggak ingin
terlihat lemah di depan orang-orang itu. Sedangkan Riva melangkahkan kaki ke
arah kami sambil menyodorkan tisu. Kami bertiga menuju ke tempat parkir.
Mengantarkan Ara ke rumahnya dan kurasa sebagai sahabatnya aku dan Riva wajib menghiburnya.
“cha, thanks ya!”
“sama-sama. Itu tugasku,
Ra!”
“Riva makasih..”
“iya, yuk balik. Besok aku
nggak mau liat Ara yang kayak gini lagi.” Kata Riva tersenyum manis.
“Kalau masih sedih,
bisa-bisa traktiran ke kafe merdeka batal nih...” candaku.
“Icha!” Riva langsung
melotot kepadaku.
“hehehe.. bercanda, Va.”
Kataku sambil menjulurkan lidah.
Ara tersenyum kecil. Aku
sedikit lega melihatnya. Kalau umpama kecelakaan, tawa kecil Ara sebagai
pertolongan pertama. Dan aku adalah si ahli medis. Dan Riva? Kurasa dia lebih
cocok sebagai tandu penopang si korban. Sahabat memang harus saling melengkapi.
Entah seberapa besar atau kecil peran sahabat itu.
0 comments:
Post a Comment