Thursday, June 27, 2013

KARMA part two

Jari lentik Riva bermain dengan lincah di atas keyboard laptopnya. Aku penasaran dengan yang dilakukannya dan mencoba mengintip ke layar laptopnya. Ku kira dia lagi ngerjain tugas atau apalah ternyata malah cengengesan baca status teman-temannya di facebook. Kalau dipikir nggak mungkin juga seorang Riva dapat ilham sampai-sampai tugas yang sebenarnya nggak ada malah dikerjakan. Aku nggak terlalu mengerti yang bikin cengengesan temanku ini. Aku yang lola atau memang Riva yang lagi konslet otaknya. Pada akhirnya aku ikutan cengar-cengir kayak orang bego padahal nggak  tau apa yang lagi kuketawain. Itung-itung kasih sumbangan gigi ke teman biar nggak disebut orang yang nggak mempunyai selera humor. Sebenarnya alasanku nyambung nggak sih...
Sambil membuka bungkus permen karet dan mengunyahnya, pandanganku berlari mencari sosok Ara. Gila, sepi banget tanpa kehadiran anak cengeng itu. Apa dia nyasar ke kampusnya sendiri sampai-sampai butuh waktu satu jam buat menemukan sobat-sobatnya? Ah, paling-paling dia kecantol sama si abang siomay yang sering stay dikantin and jadi idola para mahasiswa karena mukanya yang kecipratan dikit sama justin beiber.
“oiiiii.....” panggil Ara tiba-tiba yang masih berjarak sepuluh meter dari tempatku berada. Dia melambaikan tangan dengan senyuman yang merekah.
Aku malas membalasnya. Ku pandang dia dengan ekspresi datar. Ara mendekat. Semakin mendekat senyumnya luntur dan berganti dengan dahi berkerut melihatku.
“kenapa, Cha?”
“sini tanganmu.” Kataku tetap dengan ekspresi datar.
Ara tanpa curiga menyerahkan tangannya padaku.
“buka.”kataku lagi.
Aku tau dia bingung. Terlihat sekali dari mimik wajahnya. Tapi justru itu yang ku harapkan. Sambil menahan tawa, aku memuntahkan permen karetku dan meletakkannya di atas telapak tangan Ara. Secepat kilat Ara menarik tangannya dan memandang permen karet bekas kunyahanku. Tawaku meledak melihat dia panik sambil mengumpat padaku.
“gila kamu, cha! Jorok! Ihh...!! Ichaaaaa....!” teriaknya kesal.
“hahahaha...” aku ngakak puas.
Riva menoleh ke arah kami meninggalkan facebook-nya.
“ya ampun, Cha!” teriak Riva begitu melihat hasil pekerjaanku.
Cepat-cepat Riva memberikan tisu kepada Ara. Ara menyambarnya tanpa basa-basi. Dibersihkan telapak tangan dengan tampang kesal. Tawaku tak berhenti juga saking lucunya melihat dua temanku dengan tampang ingin membunuhku.
“sumpah... jorok...!!! jauh-jauh dari aku, Cha!”
“jauh-jauh? Beneran nih? Ridho nggak bakal dapat karma dong!” kataku masih dengan tawa. Kali ini dengan tawa kecil.
“ahh... iya! Aku punya info baru!” kata Ara yang sudah berhasil mengusir permen karetku dari telapak tangannya.
“hmmm?” aku bergumam menyambut info baru Ara.
“apa, Ra?” kata Riva antusias. “eh, bentar.”
Riva kembali mengutak-atik laptopnya. Bukan untuk melanjutkan facebook­-nya tapi untuk mengakhirinya. Cukup dengan lima menit laptopnya sudah tersimpan di tas berwarna hijau toska milik Riva pastinya.
“daaaaahhhh... facebook....”
Otak Riva mulai konslet. Aku dan Ara memandangnya heran tapi dia cuek bebek seolah sikap nggak wajarnya dianggap wajar. Lalu mulutnya terbuka memulai pembicaraan.
“apa infonya?”
“aku punya daftar selingkuhannya Ridho. Ini kongkrit dan nggak mungkin salah.”
“itu infonya?” tanyaku lemas.
“cha, punya info yang lebih nggak penting nggak?” Riva mencibir.
“ada, Va. Aku punya daftar orang bego sedunia termasuk yang disebelahku ini.” Aku melirik Ara. Dia langsung mendengus kesal.
“aishhh... ini penting tau!”
“nggak penting buat kita.” Balas Riva.
“iya nih, kirain ada info obama pup di rumah kamu, Ra, atau Albert Einsten minta diajarin nyalain tv and ngajakin clubbing!”
“kalian mau kutraktir ke kafe merdeka nggak sih?!”
“mau!” jawab aku dan Riva kompakan. Semangat kami langsung berkobar mendengar kata traktir di telinga kami. Dasar matre!
“bagus! Ayo kita jalankan misi demi hidup yang lebih baik!” kata Ara sok nasionalis.
“ayooooo....” teriak kami mengikuti gaya para pejuang Indonesia jaman dahulu.
Kami melangkah tegap mengikuti sang komandan Ara menuju medan tempur, eh maksudku menuju mobilnya. Entahlah kali ini apalagi yang direncanakan Ara. Kalau dpikir-pikir yang jadi pembuat karma bukan aku tapi Ara sendiri. Tak apalah untuk pertama kali aku yang jadi si malaikat sedangkan Ara yang jadi si iblis dari malaikat sedangkan Riva? Entahlah...
***
Mungkin jika semak-semak bisa bicara akan menjerit kesakitan karena telah dianiaya oleh Ara dan Riva. Mereka berdua tanpa sadar menginjak semak-semak tak berdosa, saking asiknya mengawasi dan melihat aksi si pembuat karma. Iya, itu aku. Aku sedang berdiri di depan Ridho dan menatapnya sinis. Di sekitarku banyak cewek-cewek yang juga memandangnya sinis. Mereka adalah cewek-cewek koleksi Ridho. Aku yang memanggil mereka disini. Di taman belakang kampus tempat Ridho mencari cewek eh maksudku tempatnya mencari ilmu.
Ku akui dia tampan. Tapi kalau dibandingkan dengan justin beiber, level ketampanan Ridho di bawah jurang. Tapi senyum manisnya mengalahkan senyum justin beiber. Pantas saja cewek-cewek pengen minta tolong saking nggak kuatnya dengan cover  Ridho yang perfect.  Ya, aku mengerti kenapa cewek-cewek pada jatuh hati dengannya. Dan aku mengerti satu fakta dari cowok playboy, awalnya ramah, tapi dalamnya busuk.
“Nah, liat kan sifat asli dari cowok yang di depan kita ini?” aku mulai membuat suasana panas.
“heh, jadi lo deketin gue cuma buat ngelakuin ini? Cuma mau ngerjain gue? And bikin gue bersalah di depan mereka?” kata Ridho kesal.
“kalau ku jawab iya?” jawabku dengan enteng.
“apa hak lo? Gue punya salah apa sama lo?”
“bukan aku, tapi kamu punya segudang salah sama cewek-cewek ini!”
“betuuuuuul...!” jawab para cewek kompak.
“aduhhhh....”
Tiba-tiba Ara keluar dari persembunyiannya sambil menghentak-hentakkan kakinya. Semua perhatian jadi beralih kepadanya. Ara yang sadar telah diterkam oleh ribuan pasang mata langsung nyengir tanpa dosa. Hey, hey, menurut rencana belum saatnya Ara muncul. Seharusnya beberapa menit lagi dia membuat si aktor utama terkejut.
“hehehe... maaf ganggu, banyak semut disini.” Katanya dengan tampang penuh malu.
“ohhh... lo, Ra dalang dari semua ini.” Bentak Ridho ketika mengenali orang yang pernah disayanginya muncul. Mungkin.
“kalau iya kenapa?” tantang Ara. Mungkin sudah kepalang basah untuk melanjutkan permainan ini. “lo kira aku bakal diem aja atas kelakuan kamu yang seenaknya. Lo sakit kan? Lihat! Ini semua aku rancang biar kamu ngerasain sakit hati yang sama kayak aku!” kata-katanya terus menghujam ke cowok yang membuatnya emosinya memuncak.
Aku hanya diam lalu teringat dengan Riva. Dia masih bersembunyi di balik semak-semak itu. Aku tahu dia hanya pemain penonton kelas VIP yang spesial tapi juga nggak ada hubungannya dengan semua ini. Sejenak aku melihat raut wajahnya yang terlihat sedih. Apa dia terlalu menghayati kisah ini ataukah... Entahlah. Aku nggak sempat berpikir ketika emosi Ara terus memuncak. Lebih baik aku membuat ini menjadi lebih dingin.
“ok, lo menang, Ra. Tapi Cuma untuk hari ini. Gue bakal pastiin lo akan terima lebih dari yang lo buat!”
“coba aja. Dasar playboy cap gajah duduk!” teriak Ara kesal.
Rasanya ingin tertawa mendengar kata-kata Ara barusan. Itu kan kata-kataku. Kata-kata yang diprotes oleh dirinya. Tapi malah digunakan disaat suasana panas seperti ini. Ara kamu waras nggak sih?
“ayo, Ra. Permainan udah selesai.” Kataku menyelesaikan cerita ini.
Aku menggiringnya menjauhi Ridho. Untungnya dia menuruti semua perintahku. Kutatap tajam ke arah Ridho sebagai tanda perpisahankku. Lalu tanpa dikomando semua cewek koleksi Ridho menggantikan tatapan tajamku. Mereka mengelilingi Ridho untuk menghakiminya. Aku nggak peduli selanjutnya kejadian bagaimana yang akan menimpa Ridho. Yang jadi perhatianku sekarang adalah Ara yang diam tanpa suara. Tapi aku tau sebenarnya dia ingin menangis, dia hanya nggak ingin terlihat lemah di depan orang-orang itu. Sedangkan Riva melangkahkan kaki ke arah kami sambil menyodorkan tisu. Kami bertiga menuju ke tempat parkir. Mengantarkan Ara ke rumahnya dan kurasa sebagai sahabatnya aku dan Riva wajib menghiburnya.
“cha, thanks ya!”
“sama-sama. Itu tugasku, Ra!”
“Riva makasih..”
“iya, yuk balik. Besok aku nggak mau liat Ara yang kayak gini lagi.” Kata Riva tersenyum manis.
“Kalau masih sedih, bisa-bisa traktiran ke kafe merdeka batal nih...” candaku.
“Icha!” Riva langsung melotot kepadaku.
“hehehe.. bercanda, Va.” Kataku sambil menjulurkan lidah.

Ara tersenyum kecil. Aku sedikit lega melihatnya. Kalau umpama kecelakaan, tawa kecil Ara sebagai pertolongan pertama. Dan aku adalah si ahli medis. Dan Riva? Kurasa dia lebih cocok sebagai tandu penopang si korban. Sahabat memang harus saling melengkapi. Entah seberapa besar atau kecil peran sahabat itu.

0 comments:

Post a Comment

 
;