Hidupku penuh dengan tangisan. Bukan
berarti hidupku sangat menyedihkan atau kayak dongeng bawang merah dan bawang
putih yang penuh dengan penderitaan. Itu sih terlau berlebihan atau orang sering
bilang dengan istilah lebay! Tapi ada benarnya juga dalam dongeng bawang putih
dan bawang merah itu. Di dunia ini pasti ada tokoh baik dan tokoh jahat. Lalu
aku? Aq termasuk di golongan apa? Entahlah. Banyak yang bilang aku seperti
malaikat, tapi korbanku bilang aku ini iblis. Whatever-lah mereka mau bilang apa. Apa peduliku? Aku hanya puas
jika aku bisa membuatkan karma untuk orang orang jahat. Toh itu memang pantas
untuk mereka. Dan untuk sekian kalinya tangisan berada dihadapanku.
“chaaaaa,,, Ridho chaaa...!!!” kata Ara
diikuti isak tangisnya.
“iya aku tau,, playboy cap gajah duduk!’
kataku ketus.
“hehhh... napa ada gajah duduknya? Kamu
kira sarung? Aku lagi gak pengen bercanda cha...”
“pengennya apa? Pengen aku buatin karma tuk
si yayank mu tercnta?”
“aissshhhh...” Ara mendesis kesal. “udah
tau kog masih tanya...”
“ra,, aku kan udah pernah bilang ridho tuh
kolektor cewek! Tanggung sendiri deh sakit hatinya...”
“tau darimana?”
Aku hanya mengangkat bahu.
“satu minggu traktir aku di cafe merdeka.”
“ihhhh... kemarin-kemarin aja cuma minta
oralit ma nanas satu kilo. ”
“suka-suka aku dong!”
“ok! Tapi yang satu ini kamu harus
bener-bener buat jungkir balik! Bikin dia pengen gali kuburnya sendiri!”
“kalau itu mah minta tolong sama tukang
gali kubur aja!”
“hehehe...”
“udah lupa ya sama nangisnya?”
“aishhhhh...” desisnya sekali lagi.
Ku pandangi sekeliling kamar Ara berhias
pernak pernik lucu berbalut tembok warna biru muda. Benar-benar cewek sejati.
Sejenak pikiranku sibuk merangkai potongan argumen tentang Ara. Dia cantik.
Pintar. Tapi dia tak pernah punya teman bernama cinta. Malah punya teman
pembuat karma. Apa kehadiranku sudah merupakan karma? Lagi-lagi aku berpikir
begitu.
Aku menggeleng kepala. Kubuang semua
argumen itu. Lalu aku beranjak dari kamar tidur Ara menuju dvd player dan
menyetel musik last child yang berjudul pedih. Kemudian kembali kurebahkan
tubuhku di atas kamar tidur milik teman cengengku. Belum ada satu menit
menikmati empuk kapas berbalut kain, Ara tiba-tiba melemparku dengan guling.
Hey!
“temannya sedih malah ditinggal tidur!”
“Ra, malam ini aku tidur disini ya?”
“berantem lagi ortumu?”
Mulutku tertutup rapat. Sama sekali nggak nafsu menjawab pertanyaan Ara. Ku
pejamkan mata sambil menggumam. Tanpa sadar aku terbawa dalam alunan lagu yang
terdengar lirih. Pedih oleh last child.
***
Pulang kuliah Ara langsung menyeretku ke
dalam mobilnya. Dan Riva mengekor di belakang dengan tanda tanya di kepalanya.
Aku pun nggak mengerti isi dari otak
teman cengengku ini. Kebetulan aku nggak membawa
mobil karena nitip parkir di rumah
Ara. Yahhh.. karena aku sudah menginap dirumahnya jadi aku berangkat ke kampus
bersamanya, dan kebetulan lagi kami satu kampus plus satu angkatan.
“mau kemana sih?” aku nggak tahan mengeluarkan pertanyaanku.
“salon.”jawab Ara.
“idih... najis! Nggak ada tempat lain apa?”
kataku merinding genit.
“ada apa sih ra ke salon segala?”
“jalanin misi dong! Kalau mau godain cowok
harus tampil cantik!”
“ogah banget. Aku kan udah cantik dari
sananya. Nggak perlu dipermak!” kataku tersenyum jahil.
“hueeeeekkkzz!” mereka kompakan meniru
orang yang baru ketahuan hamilnya.
“hahaha.... udah ah langsung ngasih
pelajaran si ayankmu itu aja.”
“nggak bisa gitu dong! Rencana kali ini
harus perfect!”
“aahhh... aku tau... mau buat karma ya?”
Riva menebak-nebak.
“seratus untuk nona Riva!” jawab Ara
diikuti langkah kakinya masuk ke dalam mobil. Dia mengambil kemudi sedangkan
aku dan Riva duduk di belakang. Sempat-sempatnya Ara menoleh ke belakang
sebelum mesin dinyalakan dan berceloteh lagi. “berapa lapis?” lanjutnya.
“ratusan!” sekarang giliran aku dan Riva
yang kompakan.
“hahaha nggak nyambung! Garing!” cibirku
kemudian.
“biarin....!” jawabnya sambil menyalakn
mesin.
Mobil honda jazz berbalut warna merah
delima melaju melawan hembusan angin yang menerpa kaca depan mobil. Ara fokus
dengan pandangan jalan raya. Riva sibuk mengutak-atik benda ciptaan Graham Bell
lalu aku hanya bengong, saking bingungnya mau ngapain. Sedetik kemudian kuputuskan untuk mengcopy kegiatan Riva. Sampai disini aku masih bingung. Sms nggak ada, Telepon juga nggak berdering. Akhirnya aku login fb
di hape, dan sialnya statusku miskin komentar. Ada yang punya saran mengisi
waktu senggang dalam perjalanan?
Untung jarak antara salon dan kampus Cuma
butuh waktu sekitar sepuluh menit jadi aku nggak
perlu jenuh menikmati kebengonganku. Kedua kalinya Ara menyeret tanganku
dengan cepat. Takut aku kabur kali. Aku
paling anti pergi ke salon, kayak tante-tante yang mau konser aja. Hush!
Cuma dalam hitungan detik aku sudah duduk
di bangku bekas para cewek centil. Pastinya di depanku ada sebuah kaca yang
terpampang lebar. Ara dan Riva berdiri di belakangku. Mungkin sedang menunggu
si tukang salon yang tak kunjung datang. Lalu mataku berasa ingin muntah
melihat seorang cowok dengan gaya lemah gemulai mirip cewek. Dari cara berpakainnya,
cara berjalannya, tata rambutnya, ihhh... ini sih cowok jadi-jadian. Tubuhku
langsung bergidik merinding melihatnya. Amit-amit deh!
“hei non! Mau permak siapa nih?” kata si
tukang salon yang lemah gemulai itu dengan gaya menjijikkan.
“nggak permak total sih... Lihat deh nggak
jelek-jelek amat kan?” jawab Ara sambil memandangku.
“kurang ajar... mau ngehina apa puji aku
nih?”
“hehehe santai cha...” Ara meringis tanpa
dosa kepadaku diikuti tawa kecil dari Riva. “tolong ya.. dibuat secantik mungkin.”
“beres deh!”
“yuk, Va. Kita tunggu si ratu pembuat karma
ini.” Kata Ara langsung kabur begitu aja.
“heh!” Aku melotot tapi Ara malah tersenyum
jahiil kepadaku. Dasar!
“tenang aja non.. cantik-cantik kok jutek.”
Kata si cowok jadi-jadian yang malah buatku tambah bad mood.
Secepat kilat kukeluarkan hape
kesayannganku. Maklum Cuma punya hape satu, jadi yang disayang Cuma hape ini.
Iyalahh... nggak ada lagi yang bisa
disayang. Kali ini aku tau bakal berbuat apa. Yap! Earphone langsung kuselipkan di kedua telingaku. Kuputar mp3 dan
kudengarkan lagu favoritku. Kupikir lebih baik daripada mengurusi orang yang
bikin sakit mata.
Hari
ini kudendangkan lagu yang ingin kunyanyikan
Terkenang
semua kenangan yang t’lah ku alami
Ingin
kubuka lembar baru untuk menemani hariku
Tak
ada lagi kesedihan selimuti diriku
Lagu J.Rock berjudul ceria mengalun lembut masuk ke
otakku. Aku benar-benar ngfans berat sama band satu ini. Musiknya yang buatku
semangat tiap kali mendengarnya. Seperti obat penyemangat hidupku.
***
“taraaaaaaa.....
ini kampusnya Ridho!” teriak Ara malu-maluin.
“keren.” pujiku dengan tampang datar.
“ihhhh keren bangeeeet!” Ara bertingkah
kayak cewek imut tapi bedanya temanku ini nggak
imut. “harusnya bilang gitu dong, Cha! Kurang ekspresi!”
“lebaaay!” cibirku kompakan bareng Riva.
“ahhh... nggak asik. Udah sana langsung
masuk aja.”
“yang mana orangnya?”
“yang pake baju biru...” Ara menunjuk
sesosok cowok nggak jauh dari
tempatku berada.
“ohhh... yang hidungnya pesek ya?”
“hahahaha... jangan ngomongin diri kamu
sendiri, cha!”
“heh... aku nggak pesek!”
“percaya kok!” kata Ara dan Riva kompakan
menahan tawa.
“aishhhhh....” desisku kesal lalu
meninggalkan mereka menuju target utama.
Celana jins dengan baju putih berenda di
sekitar leher melekat dalam tubuhku. Rambut hitamku di buat keriting dengan
bando yang putih yang berhias seperti mahkota. Aku merasa seperti putri raja
yang ingin tampil cantik di hadapan pangerannya. Ya, seorang pangeran buaya
darat. Ku mantapkan langkah kaki menuju sang pangeran. Ku ukir senyum semanis
mungkin walau nggak semanis Angelina Jolie. Dan dia balik tersenyum
padaku. Yes! Awal yang bagus.
Lalu tiba-tiba ada sesosok cewek yang berlari
di belakangku menuju target utama dengan muka sumringah. Hey,, jangan-jangan
Ridho bukan membalas senyumku tapi malah menyambut gadis centil yang berdiri di
hadapanku. Dan parahnya lagi mereka berdua nggak
merasakan kehadiranku. Dengan cuek mereka meninggalkanku.
“aduhhhh....” rintihku sambil memegang
tumit kaki.
Ridho menoleh. Yahaaa.. ini baru berhasil.
“kamu nggak apa-apa?”
“kayaknya keseleo deh kakiku.” jawabku
sambil terus berakting.
“di depan sana ada UKS, kamu bisa minta
obat di sana.”
“makasih.”
Dia kembali melanjutkan langkah kakinya.
Sial. Katanya playboy tapi cueknya minta ampun. Gimana rencanaku bisa berjalan
nih...
“aduhhhhh... aduhhh...” kali ini aku
meninggikan nada suara.
“kenapa lagi?”
“kayaknya nggak bisa jalan deh.”
Rasanya aku pengen menjilat ludahku
sendiri. Benar-benar memalukan tingkahku.
“kamu punya dua kaki kan? Apa dua-duanya
keseleo?”
Aku menatapnya bengong. Gaya bicaranya
ketus. Apa ini yang namanya buaya darat? Lirih kudengar tawa kecil dari cewek
di sebelah Ridho. Reflek aku menekuk muka. Gagal. Kayaknya drama ini harus
segera ku akhiri daripada tambah berantakan rencanaku.
“maaf kalau ganggu. Dan terima kasih buat
yang tadi.”
Tanpa menatap matanya aku langsung ngacir ke tempat Ara dan Riva menunggu.
Mereka senyam-senyum menyambutku. Dan aku tau apa yang akan mereka tanyakan
setelah ini.
“gimana? Sukses nggak?” tanya Ara dan Riva
yang lagi-lagi kompakan.
“cuek abis!” jawabku kesal.
“loh? Kok bisa?”
“mana ku tau!”
“baju biru kan?”
“iya.”
“celana jins?”
“iya.”
“rambut cepak?”
“iya.”
“loh?”
“eh.... rambutnya agak panjang.”
“bukan rambut cepak?”
“iya.”
“kayak gini nggak?”
Ara menyodorkan sebuah foto padaku. Aku
mengamatinya sejenak.
“bukan.”
“ichaaaaa..... kamu salah orang.....!” Ara
langsung menjerit. “pantesan aja cuek gitu orangnya. Payah kamu, cha!”
“nggak usah teriak pas di telinga aku dong!”
“kenapa bisa salah orang sih!”
“wajar dong! Aku nggak pernah liat mahluk
namanya Ridho kok.”
“terus gimana, ra?” tanya Riva tiba-tiba.
“cabut! Ntar kupikir-pikir lagi deh...”
Aku mengangkat bahu. Ara menghela nafas
dengan tampang cemberut. Riva tersenyum kecil. Gabungan ekspresi itu kami bawa
ke mobil dan berakhir ke rumah masing-masing.
KARMA part one/end
0 comments:
Post a Comment