Tuesday, June 25, 2013

KARMA part one

Hidupku penuh dengan tangisan. Bukan berarti hidupku sangat menyedihkan atau kayak dongeng bawang merah dan bawang putih yang penuh dengan penderitaan. Itu sih terlau berlebihan atau orang sering bilang dengan istilah lebay! Tapi ada benarnya juga dalam dongeng bawang putih dan bawang merah itu. Di dunia ini pasti ada tokoh baik dan tokoh jahat. Lalu aku? Aq termasuk di golongan apa? Entahlah. Banyak yang bilang aku seperti malaikat, tapi korbanku bilang aku ini iblis. Whatever-lah mereka mau bilang apa. Apa peduliku? Aku hanya puas jika aku bisa membuatkan karma untuk orang orang jahat. Toh itu memang pantas untuk mereka. Dan untuk sekian kalinya tangisan berada dihadapanku.
“chaaaaa,,, Ridho chaaa...!!!” kata Ara diikuti isak tangisnya.
“iya aku tau,, playboy cap gajah duduk!’ kataku ketus.
“hehhh... napa ada gajah duduknya? Kamu kira sarung? Aku lagi gak pengen bercanda cha...”
“pengennya apa? Pengen aku buatin karma tuk si yayank mu tercnta?”
“aissshhhh...” Ara mendesis kesal. “udah tau kog masih tanya...”
“ra,, aku kan udah pernah bilang ridho tuh kolektor cewek! Tanggung sendiri deh sakit hatinya...”
“tau darimana?”
Aku hanya mengangkat bahu.
“satu minggu traktir aku di cafe merdeka.”
“ihhhh... kemarin-kemarin aja cuma minta oralit ma nanas satu kilo. ”
“suka-suka aku dong!”
“ok! Tapi yang satu ini kamu harus bener-bener buat jungkir balik! Bikin dia pengen gali kuburnya sendiri!”
“kalau itu mah minta tolong sama tukang gali kubur aja!”
“hehehe...”
“udah lupa ya sama nangisnya?”
“aishhhhh...” desisnya sekali lagi.
Ku pandangi sekeliling kamar Ara berhias pernak pernik lucu berbalut tembok warna biru muda. Benar-benar cewek sejati. Sejenak pikiranku sibuk merangkai potongan argumen tentang Ara. Dia cantik. Pintar. Tapi dia tak pernah punya teman bernama cinta. Malah punya teman pembuat karma. Apa kehadiranku sudah merupakan karma? Lagi-lagi aku berpikir begitu.
Aku menggeleng kepala. Kubuang semua argumen itu. Lalu aku beranjak dari kamar tidur Ara menuju dvd player dan menyetel musik last child yang berjudul pedih. Kemudian kembali kurebahkan tubuhku di atas kamar tidur milik teman cengengku. Belum ada satu menit menikmati empuk kapas berbalut kain, Ara tiba-tiba melemparku dengan guling. Hey!
“temannya sedih malah ditinggal tidur!”
“Ra, malam ini aku tidur disini ya?”
“berantem lagi ortumu?”
Mulutku tertutup rapat. Sama sekali nggak nafsu menjawab pertanyaan Ara. Ku pejamkan mata sambil menggumam. Tanpa sadar aku terbawa dalam alunan lagu yang terdengar lirih. Pedih oleh last child.
***
Pulang kuliah Ara langsung menyeretku ke dalam mobilnya. Dan Riva mengekor di belakang dengan tanda tanya di kepalanya. Aku pun nggak mengerti isi dari otak teman cengengku ini. Kebetulan aku nggak membawa mobil karena nitip parkir di rumah Ara. Yahhh.. karena aku sudah menginap dirumahnya jadi aku berangkat ke kampus bersamanya, dan kebetulan lagi kami satu kampus plus satu angkatan.
“mau kemana sih?” aku nggak tahan mengeluarkan pertanyaanku.
“salon.”jawab Ara.
“idih... najis! Nggak ada tempat lain apa?” kataku merinding genit.
“ada apa sih ra ke salon segala?”
“jalanin misi dong! Kalau mau godain cowok harus tampil cantik!”
“ogah banget. Aku kan udah cantik dari sananya. Nggak perlu dipermak!” kataku tersenyum jahil.
“hueeeeekkkzz!” mereka kompakan meniru orang yang baru ketahuan hamilnya.
“hahaha.... udah ah langsung ngasih pelajaran si ayankmu itu aja.”
“nggak bisa gitu dong! Rencana kali ini harus perfect!”
“aahhh... aku tau... mau buat karma ya?” Riva menebak-nebak.
“seratus untuk nona Riva!” jawab Ara diikuti langkah kakinya masuk ke dalam mobil. Dia mengambil kemudi sedangkan aku dan Riva duduk di belakang. Sempat-sempatnya Ara menoleh ke belakang sebelum mesin dinyalakan dan berceloteh lagi. “berapa lapis?” lanjutnya.
“ratusan!” sekarang giliran aku dan Riva yang kompakan.
“hahaha nggak nyambung! Garing!” cibirku kemudian.
“biarin....!” jawabnya sambil menyalakn mesin.
Mobil honda jazz berbalut warna merah delima melaju melawan hembusan angin yang menerpa kaca depan mobil. Ara fokus dengan pandangan jalan raya. Riva sibuk mengutak-atik benda ciptaan Graham Bell lalu aku hanya bengong, saking bingungnya mau ngapain. Sedetik kemudian kuputuskan untuk mengcopy kegiatan Riva. Sampai disini aku masih bingung. Sms nggak ada, Telepon juga nggak berdering. Akhirnya aku login fb di hape, dan sialnya statusku miskin komentar. Ada yang punya saran mengisi waktu senggang dalam perjalanan?
Untung jarak antara salon dan kampus Cuma butuh waktu sekitar sepuluh menit jadi aku nggak perlu jenuh menikmati kebengonganku. Kedua kalinya Ara menyeret tanganku dengan cepat. Takut aku kabur kali. Aku paling anti pergi ke salon, kayak tante-tante yang mau konser aja. Hush!
Cuma dalam hitungan detik aku sudah duduk di bangku bekas para cewek centil. Pastinya di depanku ada sebuah kaca yang terpampang lebar. Ara dan Riva berdiri di belakangku. Mungkin sedang menunggu si tukang salon yang tak kunjung datang. Lalu mataku berasa ingin muntah melihat seorang cowok dengan gaya lemah gemulai mirip cewek. Dari cara berpakainnya, cara berjalannya, tata rambutnya, ihhh... ini sih cowok jadi-jadian. Tubuhku langsung bergidik merinding melihatnya. Amit-amit deh!
“hei non! Mau permak siapa nih?” kata si tukang salon yang lemah gemulai itu dengan gaya menjijikkan.
“nggak permak total sih... Lihat deh nggak jelek-jelek amat kan?” jawab Ara sambil memandangku.
“kurang ajar... mau ngehina apa puji aku nih?”
“hehehe santai cha...” Ara meringis tanpa dosa kepadaku diikuti tawa kecil dari Riva. “tolong ya.. dibuat secantik mungkin.”
“beres deh!”
“yuk, Va. Kita tunggu si ratu pembuat karma ini.” Kata Ara langsung kabur begitu aja.
“heh!” Aku melotot tapi Ara malah tersenyum jahiil kepadaku. Dasar!
“tenang aja non.. cantik-cantik kok jutek.” Kata si cowok jadi-jadian yang malah buatku tambah bad mood.
Secepat kilat kukeluarkan hape kesayannganku. Maklum Cuma punya hape satu, jadi yang disayang Cuma hape ini. Iyalahh... nggak ada lagi yang bisa disayang. Kali ini aku tau bakal berbuat apa. Yap! Earphone langsung kuselipkan di kedua telingaku. Kuputar mp3 dan kudengarkan lagu favoritku. Kupikir lebih baik daripada mengurusi orang yang bikin sakit mata.
Hari ini kudendangkan lagu yang ingin kunyanyikan
Terkenang semua kenangan yang t’lah ku alami
Ingin kubuka lembar baru untuk menemani hariku
Tak ada lagi kesedihan selimuti diriku
Lagu J.Rock  berjudul ceria mengalun lembut masuk ke otakku. Aku benar-benar ngfans berat sama band satu ini. Musiknya yang buatku semangat tiap kali mendengarnya. Seperti obat penyemangat hidupku.
***
            “taraaaaaaa..... ini kampusnya Ridho!” teriak Ara malu-maluin.
“keren.” pujiku dengan tampang datar.
“ihhhh keren bangeeeet!” Ara bertingkah kayak cewek imut tapi bedanya temanku ini nggak imut. “harusnya bilang gitu dong, Cha! Kurang ekspresi!”
“lebaaay!” cibirku kompakan bareng Riva.
“ahhh... nggak asik. Udah sana langsung masuk aja.”
“yang mana orangnya?”
“yang pake baju biru...” Ara menunjuk sesosok cowok nggak jauh dari tempatku berada.
“ohhh... yang hidungnya pesek ya?”
“hahahaha... jangan ngomongin diri kamu sendiri, cha!”
“heh... aku nggak pesek!”
“percaya kok!” kata Ara dan Riva kompakan menahan tawa.
“aishhhhh....” desisku kesal lalu meninggalkan mereka menuju target utama.
Celana jins dengan baju putih berenda di sekitar leher melekat dalam tubuhku. Rambut hitamku di buat keriting dengan bando yang putih yang berhias seperti mahkota. Aku merasa seperti putri raja yang ingin tampil cantik di hadapan pangerannya. Ya, seorang pangeran buaya darat. Ku mantapkan langkah kaki menuju sang pangeran. Ku ukir senyum semanis mungkin walau nggak semanis Angelina Jolie. Dan dia balik tersenyum padaku. Yes! Awal yang bagus.
Lalu tiba-tiba ada sesosok cewek yang berlari di belakangku menuju target utama dengan muka sumringah. Hey,, jangan-jangan Ridho bukan membalas senyumku tapi malah menyambut gadis centil yang berdiri di hadapanku. Dan parahnya lagi mereka berdua nggak merasakan kehadiranku. Dengan cuek mereka meninggalkanku.
“aduhhhh....” rintihku sambil memegang tumit kaki.
Ridho menoleh. Yahaaa.. ini baru berhasil.
“kamu nggak apa-apa?”
“kayaknya keseleo deh kakiku.” jawabku sambil terus berakting.
“di depan sana ada UKS, kamu bisa minta obat di sana.”
“makasih.”
Dia kembali melanjutkan langkah kakinya. Sial. Katanya playboy tapi cueknya minta ampun. Gimana rencanaku bisa berjalan nih...
“aduhhhhh... aduhhh...” kali ini aku meninggikan nada suara.
“kenapa lagi?”
“kayaknya nggak bisa jalan deh.”
Rasanya aku pengen menjilat ludahku sendiri. Benar-benar memalukan tingkahku.
“kamu punya dua kaki kan? Apa dua-duanya keseleo?”
Aku menatapnya bengong. Gaya bicaranya ketus. Apa ini yang namanya buaya darat? Lirih kudengar tawa kecil dari cewek di sebelah Ridho. Reflek aku menekuk muka. Gagal. Kayaknya drama ini harus segera ku akhiri daripada tambah berantakan rencanaku.
“maaf kalau ganggu. Dan terima kasih buat yang tadi.”
Tanpa menatap matanya aku langsung ngacir ke tempat Ara dan Riva menunggu. Mereka senyam-senyum menyambutku. Dan aku tau apa yang akan mereka tanyakan setelah ini.
“gimana? Sukses nggak?” tanya Ara dan Riva yang lagi-lagi kompakan.
“cuek abis!” jawabku kesal.
“loh? Kok bisa?”
“mana ku tau!”
“baju biru kan?”
“iya.”
“celana jins?”
“iya.”
“rambut cepak?”
“iya.”
“loh?”
“eh.... rambutnya agak panjang.”
“bukan rambut cepak?”
“iya.”
“kayak gini nggak?”
Ara menyodorkan sebuah foto padaku. Aku mengamatinya sejenak.
“bukan.”
“ichaaaaa..... kamu salah orang.....!” Ara langsung menjerit. “pantesan aja cuek gitu orangnya. Payah kamu, cha!”
“nggak usah teriak pas di telinga aku dong!”
“kenapa bisa salah orang sih!”
“wajar dong! Aku nggak pernah liat mahluk namanya Ridho kok.”
“terus gimana, ra?” tanya Riva tiba-tiba.
“cabut! Ntar kupikir-pikir lagi deh...”

Aku mengangkat bahu. Ara menghela nafas dengan tampang cemberut. Riva tersenyum kecil. Gabungan ekspresi itu kami bawa ke mobil dan berakhir ke rumah masing-masing.
KARMA part one/end

0 comments:

Post a Comment

 
;